Bisnis.com,JAKARTA - Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) seyogyanya menjadi suatu keharusan.
Pengamat lingkungan hidup Berry Nahdian Furqon mengemukakan bahwa sebagai energi bersih dan ramah lingkungan, ke depan, EBT bukan hanya terkait tren, namun sudah menjadi kebutuhan dan peradaban.
Jika pengembangan EBT terhambat atau terlambat, tambahnya maka Indonesia akan ketinggalan karena semua negara sudah beralih kepada energi dan teknologi bersih.
"Harusnya, kebijakan pemerintah memberikan ruang untuk mempermudah semua pihak, dalam hal ini swasta dan bahkan masyarakat mandiri, agar mereka bisa mengembangkan EBT," ujarnya melalui keterangan tertulis, Selasa.
Terkait hal itu Berry menilai Kebijakan Kementerian ESDM terkait justru mengancam target Presiden Joko Widodo, yang disampaikan pada Conference of The Parties (COP) ke-21 di Paris beberapa waktu lalu.
Ketika itu, Presiden menyatakan, Indonesia menargetkan peningkatan penggunaan EBT hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional pada 2025.
"Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 jelas sangat berpengaruh terhadap target Jokowi," ujarnya.
Semangat dalam Permen No. 12 Tahun 2017 berpotensi tidak selaras dengan semangat percepatan pengembangan panas bumi yang tercantum dalam PP No. 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung, sehingga bisa membuat gairah investasi dan kepastian pengembangan panas bumi menjadi menurun.
Akibatnya, lanjutnya, komitmen Presiden pada konferensi tentang perubahan iklim itu pun terancam tidak bisa direalisasikan.
Padahal, di hadapan 147 kepala negara ketika itu, Presiden mengatakan, komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi 29 persen di bawah tanpa bantuan internasional pada 2030 dan 41 persen dengan bantuan internasional.
"Artinya, kalau ada kebijakan pemerintah, termasuk Permen, yang justru menurunkan gairah, membatasi atau menghambat pengembangan EBT, tentu kurang tepat. Terlebih, dilakukan di tengah kebutuhan ke depan, untuk mendorong energi ramah lingkungan," lanjutnya.
Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) Abadi Purnomo sebelumnya berharap, pemerintah bisa mendukung pengembangan panas bumi.
Namun, Abadi mengkritisi, karena pembandingan harga EBT yang dilakukan sebagai salah satu dasar penerbitan Permen Nomor 12 tahun 2017, ternyata tidak relevan.
Menurut dia, karena tidak relevan itulah, penetapan Biaya Pokok Produksi (BPP) sebagai basis penetapan harga membuat panas bumi kembali "back to zero" tidak ada kepastian.
Abadi juga meminta, jika menjadikan berbagai negara sebagai pembanding, maka pemerintah juga harus membuat kondisi yang serupa dengan negara tersebut.
"Kalau ingin EBT murah, tolong pemerintah menyediakan tanahnya, tolong semua pajak dibebaskan, dan tolong dananya juga disediakan pemerintah. Karena sekitar 60 persen proyek-proyek di sana dibiayai pemerintah," ujarnya.
Pengembangan EBT Dinilai Suatu Keharusan
Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) seyogyanya menjadi suatu keharusan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

51 menit yang lalu
Jumbo Investors Snap Up Astra (ASII) Shares in Hunt for Dividends

1 jam yang lalu
IDX Takes Steps to Reinforce Capital Market Stability
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru

17 menit yang lalu
AHY Beri Kabar Terbaru Proyek Giant Sea Wall, Sudah Dapat Investor?

46 menit yang lalu
Menteri Maman Buka Suara soal Kasus UMKM Mama Khas Banjar

1 jam yang lalu
Profil GS Supermarket: Pemilik & Rekam Jejaknya di RI

1 jam yang lalu
Imbas Tarif Trump, Ekspor China ke AS Turun Drastis
Terpopuler
# Hot Topic
Rekomendasi Kami
Foto
