Bisnis.com, JAKARTA--Impor gas alam cair atau gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) menunggu kesiapan infrastruktur gas berupa fasilitas penyimpanan dan regasifikasi.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan impor tak bisa begitu saja dilakukan karena membutuhkan fasilitas penyimpanan dan regasifikasi. Sementara, saat ini infrastruktur tersebut masih terbatas.
Di dalam negeri hanya terdapat empat fasilitas yakni di Benoa, Bali (milik PT Pembangkitan Jawa Bali) berkapasitas 50 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MMscfd); di Lampung (milik PT Perusahaan Gas Negara (Persero), Tbk berkapasitas 240 MMscfd; Arun, Aceh (milik Pertamina) serta di Jawa Barat (milik Nusantara Regas) dengan kapasitas 400 MMscfd.
"Gimana caranya impor? Harus infrastruktur jadi dulu. Kalau enggak, gimana? Mau kemanain gasnya itu?" ujarnya di Jakarta, Jumat (3/3/2017).
Dia menyebut beleid untuk memberikan rekomendasi impor LNG masih dalam tahap evaluasi. Dia menilai impor bisa saja dilakukan tapi harus ada jaminan ketersediaan infrastruktur.
Infrastruktur berupa fasilitas penyimpanan dan regasifikasi serta jaringan pipa gas dibutuhkan agar LNG yang didatangkan bisa dimanfaatkan. Sebelum dialirkan melalui pipa, LNG harus diubah wujudnya melalui proses regasifikasi terlebih dahulu.
Pembangunan infrastruktur, katanya, bukan hanya menjadi tugas pemerintah. Peran perusahaan pelat merah atau badan usaha milik negara (BUMN) dan swasta, katanya, dibutuhkan untuk membangun infrastruktur.
Dari data SKK Migas, pada 2016, terdapat gas dengan volume 534 (billion British thermal unit per day/BBtud) dari delapan wilayah kerja yang tak bisa dimanfaatkan karena belum adanya infrastruktur. Dari perjanjian jual beli gas (PJBG) eksisting pun hanya sebesar 1.151,06 BBtud dari komitmen 1.552,33 BBtud atau masih menyisakan 401,27 BBtud gas.
"Jadi boleh swasta, boleh BUMN kan [bangun infrastruktur]," katanya.