Bisnis.com, BATAM--Pembangunan kilang minyak di Pulau Janda Berhias, Tanjungriau, Batam, hingga saat ini telantar katung karena dua perusahaan joint venture antara Sinomart KTS Development Limited (Sinomart) dengan PT Mas Capital Trust (MCT) berselisih soal kontraktor depo minyak dengan nilai investasi US$805 juta atau setara Rp8 triliun.
Julius Singara, Kuasa Hukumnya PT Batam Sentralindo, perusahaan yang berafiliasi dengan PT MCT, mengatakan, terhentinya pembangunan kilang minyak tersebut disebabkan karena terjadi pelanggaran perjanjian pemegang saham yang diduga dilakukan Sinomart.
Berdasarkan perjanjian pemegang saham, penunjukan kontraktor depo minyak di Batam harus melalui tender international dan hukum Indonesia. Namun secara sepihak, Sinomart berupaya menunjuk langsung anak perusahaannya, yakni Sinopec Engineering Group sebagai general contractor.
Sinomart menguasai 95% saham di PT West Point Terminal dan MCT menguasai lima% saham. PT West Point Terminal adalah perusahaan yang menyewa 75 hektare lahan dari total 130 ha lahan di Pulau Janda Berhias. Kawasan industri di pulau tersebut dibangun oleh PT Batam Sentralindo yang sejak awal berafiliasi dengan MCT.
"Kami mengetahui bahwa Sinomart menunjuk langsung anak perusahaannya dari dokumen keterbukaan informasi yang disampaikan Sinopec Kantons Holding Limited, pemegang saham Sinomart, kepada kantor bursa saham Hong Kong, yakni Hong Kong Stock Exchange, 18 November 2013 lalu," kata Julius dalam keterangan tertulis kepada Bisnis (1/3).
Dia menegaskan, penunjukan langsung tersebut melanggar perjanjian pemegang saham, di mana penunjukkan kontraktor depo minyak di Batam harus melalui tender internasional dan hukum Indonesia.
"Pemegang saham nasional dalam hal ini MCT keberatan atas penunjukan tersebut sehingga pembangunan depo minyak ini terhenti," kata Julius.
Menurutnya nilai kontrak yang diajukan Sinopec Group, sebagai kontraktor depo minyak sebesar US$738 juta juga terlalu tinggi dari budgetary pricing.
"Kami menganggap nilai kontrak tersebut terlalu tinggi, sementara nilai kontrak yang pernah diajukan 13 kontraktor asing dari enam negara, yakni Indonesia, Singapura, Malaysia, Australia, Korea, dan Belanda hanya sebesar US$582 juta," tambahnya.
“‘Batam Construction Project Framework Master Agreement’ merupakan pelanggaran terhadap perjanjian pemegang saham dan harganya jauh lebih tinggi dari budgetary pricing. Pemegang saham nasional keberatan atas kesepakatan tersebut, sehingga pembangunan depo minyak ini terhenti. Apalagi PT West Point Terminal juga tidak melaksanakan tender international secara transparan,” tandas Julius.
Patuhi Aturan
Julius menegaskan, investor lokal tidak pernah menghalangi rencana investasi Sinomart di West Point Maritime Industrial Park. Sejak 2013 investor lokal justru mendorong PT West Point Terminal untuk segera merealisasikan tender international terhadap proyek pembangunan depo minyak yang telah direncanakan. Namun, hal itu tidak pernah dilaksanakan meskipun tender dokumen sudah disiapkan dan semua perijinan terkait proyek tersebut sudah diperoleh dari pemerintah.
Terkait proses sewa menyewa lahan di Westpoint Maritime Industrial Park, Julius mengatakan bahwa PT BS mendapatkan alokasi lahan dari Otorita Batam (sekarang BP Batam) untuk jangka waktu selama 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun.
“Perjanjian sewa menyewa antara PT BS dengan PT West Point Terminal sudah sesuai peraturan pemerintah dan Perjanjian Pengalokasian Lahan dengan BP Batam. Dalam transaksi sewa menyewa ini pihak Sinomart juga telah melakukan uji tuntas hukum dan didampingi konsultan hukum Indonesia,” katanya.
Defrizal Djamaris kuasa hukum PT MCT menyatakan, terkait sengketa yang terjadi di PT West Point Terminal, PT MCT sebagai pengusaha lokal tengah mengajukan gugatan kepada Sinomart di badan arbitrase international ICC (International Court of Arbitration). Langkah ini ditempuh untuk mendapatkan kepastian hukum atas banyaknya pelanggaran perjanjian yang dilakukan Sinomart.