Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan lembaga swadaya masyarakat mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk menghentikan pembahasan RUU Perkelapasawitan.
Kepala Desk Kampanye Sawit Watch Maryo Saputra Sanuddin menolak beleid itu karena solusi untuk mengatasi berbagai persoalan dalam industri kelapa sawit sudah diakomodasi dalam berbagai peraturan.
Dia mencontohkan sejumlah beleid itu seperti UU No. 39/2014 tentang Perkebunan, UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, hingga Permentan No. 11/2015 tentang Indonesian Sustainable Palm Oil Certification (ISPO) System.
“Jadi kami rasa sudah tidak perlu lagi membuat satu UU yang sebenarnya sudah ada dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Terlebih lagi setelah kami mendapat draft dari RUU ini hampir sebagian besar isinya sudah ada dalam UU Perkebunan,” katanya lewat siaran pers, Selasa (7/2/2017).
RUU Perkelapasawitan menjadi salah satu Prolegnas 2017. DPR mengusung RUU itu dengan pertimbangan untuk menyejahterahkan petani, peningkatan kualitas perusahaan sawit hulu-hilir, dan mengatasi karut marut tumpang tindih perizinan.
Maryo juga menyoroti adanya keberpihakan DPR dan Pemerintah kepada pihak investor lewat RUU Perkelapasawitan. Misalnya, Pasal 30 menyebutkan investor diberi kemudahan berupa pengurangan pajak penghasilan, pembebasan atau keringanan bea dan cukai, serta keringanan pajak bumi dan bangunan.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Sawit Watch Indah Fatinaware meminta Presiden Joko Widodo untuk merealisasikan penghentian pemberian izin tambang dan perkebunan kelapa sawit. Menurutnya, moratorium dapat menjadi momentum bagi industri kelapa sawit untuk berbenah.
“Jangan hanya menjadi pemanis disaat-saat tertentu tanpa adanya realisasi dari ucapan tersebut,” katanya.