Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Nasional Pengendalian Tembakau mendukung keputusan Komisi I DPR yang memasukkan pasal larangan iklan rokok di media penyiaran dalam Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang merupakan revisi atas UU Penyiaran No. 32/2002 tentang Penyiaran.
Dalam draf RUU Penyiaran bulan Desember, DPR menegaskan larangan iklan rokok dalam Pasal 142 ayat 2 (i) dituliskan, “Materi siaran iklan dilarang mempromosikan minuman keras, rokok dan zat adiktif lainnya.”
Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau Bidang Hukum dan Advokasi Muhamad Joni menuturkan, draf tersebut merupakan kemajuan positif mengingat dalam rancangan sebelumnya DPR masih memperbolehkan iklan rokok.
“Pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok dalam RUU Penyiaran merupakan kebijakan politik hukum Dewan yang maju dan conform dengan UU Kesehatan dan sejumlah putusan MK. Ini harus terus dikawal untuk menuju era revolusi mental hak atas kesehatan dari bahaya rokok,” katanya saat ditemui di Jakarta, Kamis (12/1/2017).
Pengawalan tersebut harus dilakukan mulai dari tahap harmonisasi, pembahasan, sampai pengesahan. Pasalnya Revisi UU Penyiaran yang telah dimulai sejak DPR periode lalu pernah ditandai catatan buruk.
Pasal pelarangan iklan rokok sebenarnya telah diusung Komisi I DPR periode lalu. Akan tetapi, dalam tahap akhir, pasal tersebut dihilangkan dan berganti dengan tetap dibolehkannya iklan rokok di media penyiaran.
“Kami tidak ingin preseden buruk ini terulang lagi. Kita harus kawal bersama-sama pasal larangan rokok ini sampai RUU disahkan.”
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengungkapkan hal senada. Menurutnya, rokok termasuk produk berbahaya dan seharusnya iklan produk tembakau rokok dilarang di media apapun.
Dia mengacu pada dua landasan hukum yakni UU No. 36/2009 tentang Kesehatan Pasal 113 yang menyatakan tembakau mengandung zat adiktif.
Kemudian, pada 2012, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan menolak uji materiil terhadap Pasal 113 dan 116 UU Kesehatan dan memutuskan tembakau tetap termasuk golongan zat adiktif.
“Produk berbahaya seharusnya tidak diiklankan. Ini sama saja mau menjerumuskan masyarakat ke hal yang merugikan . Industri rokok harusnya malu kalau ngotot produknya yang berbahaya terus diiklankan,” tuturnya.
Faktanya, selama ini belanja iklan rokok sangat besar di televisi, bahkan merupakan penyumbang pendapatan iklan terbesar bagi industri televisi.
Berdasarkan data Nielsen Advertising Information Servives (AIS) yang mencatat belanja iklan di televise dan media cetak, total nilai iklan rokok kretek pada kuartal I/2016 lalu mencapai Rp1,88 triliun, naik 76% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Tak hanya media penyiaran, para pegiat pengendalian tembakau juga mendorong pemerintah untuk melarang iklan rokok secara total di semua media termasuk media luar ruang.