Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penurunan NTP Fenomena Bulanan, Faisal Basri Bisa Sesat Pikir

Penurunan nilai tukar petani (NTP) pada November 2016 adalah fenomena bulanan pada beberapa subsektor dan biasanya pada Desember akan meningkat lagi.
Presiden Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman di panen raya bersama di Desa Trayu, Banyudono, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (29/10)./Sekneg
Presiden Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman di panen raya bersama di Desa Trayu, Banyudono, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (29/10)./Sekneg

Bisnis.com, JAKARTA -  Penurunan nilai tukar petani (NTP) pada November 2016  adalah fenomena bulanan pada beberapa subsektor dan biasanya pada  Desember akan meningkat lagi.

"Menganalisis kesejahteraan petani jangan terpaku pada satu indikator  NTP saja, nanti Faisal Basri bisa sesat pikir," ujar  Dr Ana Astrid, Kepala Subbidang Data Sosial Ekonomi Kementerian Pertanian, di Jakarta, Senin (5/12/2016).

Dia mengatakan  indeks harga berfluktuasi secara harian dan bulanan, maka untuk melihat kemampuan daya beli petani semestinya tidak hanya membandingkan NTP waktu sesaat sebulan, tetapi juga lihat Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) dalam kurung waktu panjang.

"Secara keseluruhan, NTP  November 2016 memang sedikit turun. Itu  fenomena bulanan pada beberapa subsektor," katanya menjawab pernyataan Faisal Basri  yang mengatakan anjloknya kesejahteraan petani, bisa dilihat dari turunnya indeks nilai tukar petani (NTP) yang menghitung rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase.

Ana mengatakan silakan dianalasis indikator Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) yang mencerminkan kemampuan dari usaha pertaniannya. Untuk diketahui, NTUP seluruh subsektor positif di atas 100. NTUP pada 2015 sebesar 109,38 dan rerata 2016 sebesar 109,86.  "NTUP ini meningkat dari bulan ke bulan dan tahun ke tahun," tuturnya.

"Saudara Faisal Basri tentunya sangat paham bahwa kesejahteraan petani bukan hanya dilihat dari NTP dan NTUP. Semestinya dilihat juga dari tingkat kemiskinan di perdesaan." 

Data BPS, kata Anda, penduduk miskin di perdesaan Maret 2016 sebanyak 17,67 juta jiwa turun 0,22 juta jiwa dibandingkan dengan September 2015. Sebelumnya periode September 2015 jumlah penduduk miskin di perdesaan 17,89 juta jiwa turun 46.000  dari 17,94 juta jiwa pada Maret 2015.

Selanjutnya, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di pedesaan diukur rasio gini atau indeks gini data BPS. Gini rasio di perdesaan Maret 2016 sebesar 0,327 menurun 0,007 poin dibanding rasio gini Maret 2015 sebesar 0,334 dan menurun 0,002 poin dibanding rasio September 2015 sebesar 0,329.  "Ini kan menunjukkan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di desa semakin kecil," lanjut Ana.

“Sangat disayangkan pernyataan Faisal Basri yang tidak mampu membaca data yang sudah sangat jelas sehingga dia tidak mengerti apa saja keberhasilan yang telah dicapai dalam pembangunan pertanian Indonesia selama ini. Mungkin dia sudah pikun,'' kata Ana.

“Coba lihat di Kementerian Pertanian yang telah mampu melakukan tindakan tegas dan membongkar mafia beras dan mafia pupuk yang selama ini telah banyak merugikan negara dan petani kita. Adapun dia [Faisal Basri] yang selama ini telah dibayar negara untuk membongkar serta memberantas mafia migas, sama sekali tak menunjukkan prestasi apa-apa.”

“Bagi yang masih mengedepankan akal sehat dan pikiran waras, mungkin sebaiknya mengabaikan apa yang disampaikan Faisal Basri sehingga tidak menguras energi dan mengganggu laju kinerja pemerintah yang saat ini sedang bersemangat mencapai target yang ditetapkan," ujar  Ana.

Terkait soal subsidi, Ana Astrid menyatakan  alokasi subsidi pertanian adalah relatif konstan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Subsidi, kata dia, diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan telah berkontribusi nyata terhadap produksi.  "Subsidi bukan sekedar carity, tetapi sebagai sarana efektif transfer teknologi pemupukan berimbang dan penggunaan benih unggul kepada petani."

Subsidi pertanian dan berbagai kebijakan berupa regulasi, membangun infrastruktur hulu-hilir, mekanisasi pertanian, mengatur tata niaga pangan serta mengendalikan impor dan mendorong ekspor, hasilnya selama dua tahun ini sudah terlihat dan dinikmati petani.

Lihat data BPS, produksi padi 2015 naik 6,64% dan 2016 naik lagi 4,96%.  Produksi padi dua tahun terakhir naik 8,4  juta ton setara Rp 38,5 trlliun. Selanjutnya produksi jagung 2016 naik 18,11%, tambahan produksi dua tahun 4,2 juta ton itu senilai Rp 15,9 triliun. Produksi padi dan jagung ini adalah capaian tertinggi selama 20 tahun.

Nilai tambah produksi pada 24 komoditas pertanian dua tahun terakhir senilai Rp 171 triliun. Kinerja peningkatan produksi pangan inilah yang menjadi domain Kementerian Pertanian, ujar Ana.

Indonesia terkena musibah El-Nino 2015 yang lebih tinggi dibandingkan dengan 1997 dan La-Nina terjadi pada 2016. "Berkat Upaya Khusus, kita tetap mampu meningkatkan produksi. Pada 2016 tidak ada rekomendasi dan izin impor beras premium. Bila tidak ada upaya khusus dan antisipasi, maka impor beras 1998-1999 sebesar 12 juta ton bila diekstrapolasi dengan penduduk sekarang, maka semestinya 2016 ini membutuhkan impor 16,6 juta ton."

Keberhasilan meningkatkan produksi dan menyediakan pangan inipun diakui dunia. Data EIU pada GFSI 2016 menyatakan Ketahanan Pangan Indonesia meningkat terbesar di dunia dengan indeks 2.7 dan Aspek Ketersediaan Pangan naik tinggi di peringkat 66, lanjut Ana.

Baca: Efektivitas Subsidi Pertanian Dipertanyakan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Martin Sihombing

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper