Bisnis.com, JAKARTA—Kalangan pengembang mengidentifikasi sejumlah langkah penting yang perlu diambil pemerintah dalam menetapkan kebijakan terkait program sejuta rumah di tahun depan agar industri perumahan lebih bergairah.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Eddy Hussy mengatakan, program penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR perlu sejumlah terobosan lanjutan sebab tantangannya relatif banyak.
Kalangan pengembang menyambut baik semua langkah pemerintah hingga saat ini yang secara nyata menunjukkan komitmen pemerintah terhadap program sejuta rumah, baik melalui kebijakan subsidi finansial, perpajakan, perizinan dan pengembangan kawasan.
Langkah terakhir pemerintah melalui paket kebijakan ekonomi XIII tentang penyederhanaan perizianan rumah bagi MBR menandati terobosan sangat penting bagi realisasi penyediaan rumah MBR tahun depan.
Meski begitu, kalangan pengembang masih mengidentifikasi sejumlah tantangan di lapangan yang perlu ditindaklanjuti oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. Hal ini menjadi agenda yang diharapkan dapat terealisasi dalam kebijakan-kebijakan pemerintah selanjutnya.
Pertama, pemerintah dalam Paket Kebijakan Ekonomi XIII masih membatasi penyederhanaan perizinan rumah MBR bagi pengembangan kawasan seluas maksimal 5 hektar. Hal ini akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP) yang tengah diharmonisasi pemerintah dan sebentar lagi terbit.
Eddy mengatakan pengembang bersama pemerintah masih akan membahas kemungkinan regulasi selanjutnya yang mengatur penyederhanaan perizinan untuk pengembangan rumah MBR di kawasan yang lebih luas dari 5 hektar.
“Kami berharap PP dari Paket Kebijakan Ekonomi XIII ini segera terbit dan segera masuk pembahasan untuk perizinan rumah MBR yang lebih luas dari 5 hektar, karena sebenarnya banyak pengembang FLPP yang bangun lebih luas dari lima hektar,” katanya kepada Bisnis, Jumat (18/11/2016).
Kedua, pengembang juga telah mengajukan usulan kepada pemerintah untuk melanjutkan kebijakan penyederhanaan perizinan rumah non-MBR atau rumah komersial. Secara prinsip hal tersebut telah mendapat perhatian pemerintah, meskipun masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut.
Eddy berharap wacana ini juga dapat direalisasikan tahun depan. Hal ini sesuai dengan arah kebijakan pemerintah saat ini yang ingin menciptakan iklim bisnis di Indonesia yang semakin kompetitif.
Menurutnya, pengembangan rumah komersial pun layak dibantu sebab majunya industri perumahan akan memberikan dampak berantai terhadap perekonomian nasional sebab akan turun meningkatkan 174 industri turunannya.
Komponen biaya perizinan selama ini menambah beban biaya bagi pengembang dalam merealisasikan pembangunan rumah komersial. Bila perizinan dirampingkan, realisasi pembangunan rumah dapat meningkat signifikan.
Ketiga, pengembang berharap pemerintah dapat menyegerakan realisasi kebijakan skema FLPP kedua, yang mana batasan harga rumah yang dapat dibeli serta batasan penghasilan maksimal dari MBR ditetapkan lebih tinggi.
Program FLPP saat ini menetapkan batasan harga rumah subsidi yang dapat dibeli oleh MBR berkisar Rp116,5 juta untuk sebagian besar Jawa dan Sumatra hingga Rp183,5 juta untuk Pulau Papua. Sementara itu, MBR yang berhak membeli rumah tersebut berpenghasilan maksimal Rp4 juta.
Dengan skema tersebut, MBR dapat membeli rumah dengan uang muka 1%, bunga 5% selama 20 tahun dan bebas pajak pertambahan nilai (PPN) 10%.
REI berharap pemerintah dapat mengembangkan skema baru yang memungkinkan masyarakat dengan tingkat penghasilan yang sedikit lebih tinggi dapat turut menikmati fasilitas subsidi pemerintah.
Misalnya, harga tiap unit dapat ditetapkan lebih tinggi dengan kisaran Rp250 juta hingga Rp300 juta. Sementara itu, batasan penghasilan MBR yang dapat membeli rumah tersebut ditetapkan mulai Rp4 juta hingga Rp7 juta.
Tentu pemerintah dapat mengatur besaran uang muka lebih tinggi, misalnya mencapai 5%. Demikian juga bunga pinjamannya dapat ditetapkan sebesar 6,5% hingga 7%. Hal ini akan sangat memperluas cakupan masyarakat yang dapat ditolong untuk memiliki rumah.
“Karena sebenarnya justru di situ yang pasarnya lebih besar saat ini. Kalau itu dibantu saya kira akan lebih baik,” katanya.
Eddy menambahkan, skema tersebut juga akan turut menyelesaikan sejumlah persoalan yang berkembang di lapangan saat ini. Misalnya, sejumlah daerah mematok luas lahan bagi rumah MBR harus di atas 120 meter persegi.
Hal ini menyebabkan pengembang sulit merealisasikan rumah MBR bila harus memenuhi syarat yang ditetapkan pemerintah dalam skema saat ini.
Keempat, REI berharap pemerintah dapat segera mencabut syarat NPWP dan pelampiran surat pemberitahuan pajak orang pribadi bagi pengaju FLPP. Pasalnya, masayarakat dengan tingkat penghasilan di bawah Rp4 juta sudah tidak diwajibkan untuk memiliki NPWP.