Bisnis.com, PEKANBARU--Keberatan yang mengatasnamakan 139 pakar dari 20 negara dan 115 institusi akademisi, pemerintah, dan organisasi masyarakat atas pemberitaaan hasil Kongres Gambut Internasional ke-15 di Kuching dinilai tidak etis.
Sebab, sebagian besar nama-nama tersebut bukan peserta kongres dan tidak berkompetensi untuk mengeritisi keputusan kongres tersebut.
Demikian rangkuman pendapat yang disampaikan Guru Besar Faperta Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Abdul Rauf dan Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) DR Sudarsono Soedomo, di Jakarta, (10/10).
Menurut Rauf, pemberitaan atas hasil kongres terbuka itu perlu dihormati karena semua pihak termasuk LSM dan Badan Restorasi Gambut (BRG) mempunyai kesempatan sama berbicara di kongres.
”Hasil kongres perludihormati dan tidak dikomentari dengan pernyataan keberatan yang begitu panjang. Apalagi pernyataan itu bukan dari peserta,” ujarnya dikutip Antara.
Menurut Rauf ketika terjadi beda pendapat, akademisi harus kembali ke data, fakta, dan kebenaran. Fakta menunjukkan gambut di Indonesia bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan. Sumatera Utara bisa menjadi rujukan. Pemanfaatan gambut untuk perkebunan sawit oleh PTPN serta perusahaan swasta PT Socfin Indonesia bisa dilakukan berkelanjutan selama hampir 100 tahun.“Ini karena menerapkan kaidah-kaidah konservasi dan penanaman yang benar,” ujarnya.
Tanpa kaidah yang benar kerusakan bisa terjadi dimana saja, termasuk di tanah mineral. Contohnya, tembakau Deli yang menjadi kebanggaan Sumatera Utara kini kualitasnya menurun, karena tidak mengikuti kaidah konservasi dan penanaman yang benar. “Untuk mendapatkan tembakau Deli yang baik, harus dirotasi selama 8 tahun. Karena kaidah itu tidak diterapkan, kini ketinggian pohon tembakau tidak sampai 1 m dan produksinya tidak sebaik dulu, “ katanya.
Begitu juga penanaman sawit di gambut, tidak akan berhasil ketika tidak mengikuti kaidah yang benar. Bukan hanya gambut yang rusak, sawitnya pun pasti mati. Sebab itu, tata kelola air merupakan kaidah yang harus diterapkan agar kondisi gambut dan sawit tetap baik.
Sudarsono Soedomo mengatakan gambut di Indonesia telah dimanfaatkan turun temurun melalui kearifan lokal oleh banyak suku di Indonesia.
Masalah timbul, ketika asing terusik dengan keberhasilan penanaman sawit di lahan gambut. Sejak itu, berbagai kampanye hitam mulai marak, namun tidak konsisten. “Sebentar dibilang minyak sawit tidak sehat, sebentar lagi penanaman di gambut tidak sustain, dan lain sebagainya. Ini yang bikin bingung. Masalahnya pada sawit atau gambut atau memang ingin mematikan industri ini, “ kata Sudarsono.
Sudarsono mengharapkan, pemerintah tidak terpancing menari dengan genderang orang lain. “Kita diprovokasi untuk moratorium, sementara negara barat tetap menghasilkan emisi besar-besaran melalui industrinya. Kita tidak pernah protes, malah balik menghantam industri unggulan kita sendiri,” kata dia.
Di Eropa, gambut ditambang untuk kepentingan energi seperti batubara. Sementara itu, pemanfaatan gambut di Indonesia, jauh lebih beradab karena tidak mengeksploitasi serta menerapkan teknologi ramah lingkungan.
Sudarsono mengharapkan, akademisi Indonesia, seharusnya mendukung pemanfaatan gambut sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jangan sebaliknya berpolitik dan ikut-ikutan membekingi kepentingan dagang dan politik asing.
Sudarsono juga mengingatkan pemerintah untuk mengawasi gerak gerik asing yang bermain pada “dua kaki” di Indonesia. Disatu sisi melalui LSM yang merupakan kepanjangan tangan asing menghantam industri sawit nasional dengan kampanye hitam. Disisi lain, asing banyak menginvestasikan saham di perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia. “Ini perlu diawasi. Jangan kita sampai kecolongan lagi. Banyak sudah sektor strategis kini dikuasai asing karena kelalaian kita,” kata dia.
Baik Rauf maupun Sudarsono berpendapat, Indonesia dalam masalah besar ketika pengelolaan gambut di larang karena jutaan jiwa yang tergantung disana. “Seharusnya, penyelesaiannya pada peningkatan teknologi pengelolaan gambut, bukan melarang pemanfaatan,” kata mereka.