Bisnis.com, JAKARTA - Kegagalan Indonesia Anggota Dewan International Civil Aviation Organization dipandang oleh pelaku usaha kargo udara karena kurangnya perhatian pemerintah dalam melibatkan pelaku usaha pada setiap kebijakan keamanan penerbangan dan penataan kargo udara.
Wakil Ketua Umum Angkutan Udara Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Arman Yahya menyatakan kegagalan Indonesia menjadi Anggota Dewan International Civil Aviation Organization (ICAO) disebabkan oleh beberapa permasalahn internal penataan bandara di Indonesia yang masih buruk.
“Masih banyak masalah dalam internal kita, ibaratnya di rumah sendiri yang belum terselesaikan. Misalnya masalah RA [regulated agent]. Selain itu juga masalah air cargo, pelaku usaha jarang dilibatkan,” ungkap Arman kepada Bisnis, Selasa (5/10/2016).
Menurutnya, International Air Transport Association (IATA) menyebut bahwa pada setiap rencana kebijakan keamanan penerbangan dan kargo udara pemerintah harus melibatkan pihak swasta dalam perumusannya.
“Pelaku air cargo itu harus dilibatkan masalah keamanan penerbangan, selama ini pemerintah jalan sendiri. Jadinya tumpang tindih, tidak sesuai standar, wajar saja tidak lolos ICAO,” tegasnya.
Dia mencontohkan salah satu bentuk pengabaian dari pemerintah misalnya saat menyusun aturan tentang agen inspeksi atau regulated agent. Arman menceritakan masalah RA muncul akibat ketidaksesuaian implementasi agen inspeksi seturut mandat ICAO yang tercantuk pada Annex 17.
Tak mengherankan, kata Arman, jika masalah RA tidak kunjung selesai dan mendorong Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memberi perintah untuk segera menyelesaikan permasalahan itu.
Salah satunya adalah mensterilisasi kawasan lini I di kawasan kargo dari agen inspeksi. Selain itu pemerintah juga dianggap perlu mengawasi masalah tarif secara ideal agar tidak membebani pengguna jasa dan juga pelaku usaha.
“RA itu investasi besar, tetapi ruang gerak bisnis mereka kecil, aturannya banyak. Implementasinya mendadak, pengusaha perlu adaptasi jadi serbasalah. Kalau pengusaha RA tidak menaikkan tarif mereka juga merugi, tetapi pengguna jasa juga kasihan. Jadi serba salah,” jelasnya.
Pada 4 Oktober 2016 waktu Montreal, Kanada, dikabarkan Indonesia kembali menelan kepahitan karena gagal terpilih sebagai Anggota Dewan ICAO Part III periode 2016-2019 dengan hanya memperoleh 96 suara dari total jumlah suara sebanyak 172 suara.
Ternyata, sekalipun Indonesia mengalami perbaikan rating keselamatan penerbangan Indonesia oleh Federal Administration Aviation (FAA) menjadi kategori I pada Agustus 2016.
Adapun negar-negara yang berhasil terpilih sebagai anggota Dewan ICAO di Part III periode 2016-2019 antara lain Aljazair, Cabo Verde, Kongo, Kuba, Ekuador, Kenya, Malaysia, Panama, Korea Selatan, Tanzania, Turki, Uni Emirat Arab, dan Uruguay.
Rencananya, Indonesia akan kembali berupaya untuk terpilih menjadi Anggota Dewan ICAO pada periode selanjutnya. Keanggotaan di Dewan ICAO diyakini dapat membawa manfaat positif bagi penerbangan sipil nasional.
Sekadar informasi, pemilihan anggota dewan ICAO periode 2016-2019 dilaksanakan di hari ke-7 penyelenggaraan Sidang Majelis ICAO ke-39, atau tepatnya pada 4 Oktober 2016 di Kantor Pusat ICAO Montreal, Kanada.
Pemilihan dilakukan secara tertutup (secret ballot) dengan sistem pemilihan elektronik, serta ketentuan dukungan minimal sebanyak 50%+1 dari jumlah negara anggota yang memberikan suaranya. Indonesia sebelumnya pernah terpilih sebagai salah satu Anggota Dewan ICAO Part III sebanyak 12 kali, yakni pada 1962, 1968, 1971, 1974, 1977, 1980, 1983, 1986, 1989, 1992, 1995, dan 1998.