Bisnis.com, JAKARTA – Wetlands International merekomendasikan kepada pemerintah untuk menghentikan sementara ekspansi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua dan Papua Barat karena dapat menenggelamkan daratan kedua daerah paling timur Indonesia itu.
Wetland International adalah LSM global yang bergerak di bidang konservasi dan restorasi wilayah bertanah basah.
Direktur Wetlands International Indonesia Nyoman Suryadiputra mengungkapkan perluasan perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua kini sudah mulai masuk ke lahan gambut. Dari 600.000 hektare (ha) konsesi perkebunan di sana, setidaknya 100.000 ha sudah mulai ditanami bibit kelapa sawit.
“Sebagian ada yang di lahan mineral dan sebagian di gambut. Yang saya khawatirkan itu kalau masuk ke lahan gambut,” katanya dalam acara diskusi terbatas bertajuk Restorasi Gambut Berbasis Teknologi dan Tanaman Lokal di Jakarta, hari ini, Kamis (25/8/2016).
Nyoman memaparkan budi daya kelapa sawit di lahan gambut mengharuskan adanya drainase yang berfungsi mengalirkan air dari kubah gambut ke kawasan sekitarnya. Keberadan kanal dalam jumlah banyak lambat laun akan membuat permukaan gambut turun.
Menurut Nyoman, lahan gambut di Tanah Papua mayoritas berada di dekat pantai seperti halnya di Sumatra dan Kalimantan. Gambut membentang dari Sorong, Bintuni di Papua Barat hingga ke Merauke di Papua.
Namun, imbuh dia, pembedanya adalah lahan gambut di Bumi Cendrawasih yang luas totalnya 8 juta ha, lebih dangkal dibandingkan dengan dua pulau itu. Sebagian besar kedalaman gambutnya kurang dari 2 meter.
“Jadi kalau sampai gambut turun maka tenggelamlah oleh air laut. Kalau di Sumatra dan Kalimantan gambutnya lebih dalam sehingga butuh waktu lama sampai bisa tenggelam,” katanya.
Untuk itu, Nyoman mengusulkan agar pemerintah menyetop atau setidaknya menunda izin perkebunan kelapa sawit di Bumi Cendrawasih. Selain akibat ekspansi di lahan gambut, menurut dia, ancaman tenggelamnya daratan Tanah Papua juga berasal dari kenaikan air laut akibat perubahan iklim.
Nyoman mengingatkan tenggelamnya daratan gambut ini sudah pernah terjadi di California, Amerika Serikat. Di sana, sebuah pulau bergambut digunakan untuk pertanian yang lama-kelamaan permukaanya turun akibat banyaknya kanal.
“Begitu air laut turun sudah tidak bisa didrainase, cuma bisa dipompa. Tapi karena biaya pompa mahal maka dibiarkan tenggelam. Kalau sampai salah kelola ini bisa terjadi di Indonesia,” ucapnya.
Di tempat yang sama, Sekretaris Badan Restorasi Gambut (BRG) Hartono Prawiraatmaja menuturkan secara ilmiah kelapa sawit memang tidak cocok ditanam di lahan gambut karena bersifat sebagai penyerap air. Akibatnya, gambut yang semestinya harus dalam kondisi basah menjadi kering yang rentan terbakar.
Oleh sebab itu, kata Hartono, pemerintah mendorong pengembangan tanaman-tanaman baru yang tidak menganggu ekosistem gambut. Saat ini setidaknya terdata sebanyak 1.376 komoditas yang ramah gambut.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Swisto Uwin meminta pemerintah tidak serta-merta memaksa petani untuk beralih dari kelapa sawit. Dia mengusulkan adanya kajian lebih dahulu terkait potensi ekonomi tanaman pengganti kelapa sawit.
“Bagaimanapun di kampung itu lahannya terbatas. Begitu petani mau tanam harus memakan lahan gambut karena ikut-ikutan,” ujarnya.