Bisnis.com, JAKARTA—Neraca Pembayaran Indonesia diprediksi akan mencatatkan surplus hingga akhir tahun karena masuknya aliran modal yang besar, kendati pergerakan harga komoditas masih perlu diwaspadai sejalan dengan kinerja perekonomian China.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara memproyeksikan secara total Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tahun ini akan surplus ditopang aliran modal yang masuk di portofolio baik di surat utang negara, pasar modal, dan obligasi korporasi. Sebelumnya, BI melaporkan aliran dana asing hingga akhir Juli 2016 tercatat mencapai sekitar US$10 miliar.
Pada 2015, NPI mengalami defisit US$1,1 miliar setelah tahun sebelumnya mencatat surplus US$15,2 miliar. Defisit transaksi berjalan pada tahun lalu sebesar US$17,8 miliar atau 2,06% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), lebih baik dibandingkan 2014 yang mencapai US$27,5 miliar atau 3,09% terhadap PDB.
“Aliran modal cukup banyak di kuartal kedua menyambung dari kuartal pertama sehingga portofolionya menjadi besar daripada awal perkiraan kami pada waktu membuat estimasi di awal tahun,” katanya, di Jakarta, Senin (15/8/2016).
NPI pada kuartal I/2016 mencatatkan defisit US$0,3 miliar dan kuartal II/2016 surplus US$2,2 miliar. Namun, Mirza menuturkan masih perlu kewaspadaan di neraca perdagangan barang mengingat perekonomian China yang belum menunjukkan perbaikan signifikan.
Menurutnya, kondisi perekonomian China akan berpengaruh pada harga komoditas dan kebijakan kursnya. Sementara itu, kebijakan kurs Negeri Panda itu akan mempengaruhi kurs negara lain. “Year to date harga komoditas sudah naik. Ekonomi China mudah-mudahan bisa membaik, itu perbaikannya enggak signifikan,” ucapnya.
Faktor eksternal dari China termasuk penting selain kebijakan suku bunga di Amerika Serikat. The Fed diperkirakan sampai akhir tahun belum akan menaikkan suku bunga sehingga membawa kestabilan bagi kondisi perekonomian.
Sementara itu, BI juga masih memproyeksikan defisit transaksi berjalan akan bertengger di level 2,2%-2,3% hingga akhir tahun ini.