Bisnis.com, JAKARTA—Bank Indonesia belum melakukan kajian terkait dampak pemotongan anggaran oleh pemerintah sebesar Rp133,8 triliun terhadap pencapaian target pertumbuhan ekonomi.
Gubernur BI Agus D.W Martowardojo mengatakan sebelum dilakukan pemotongan anggaran pemerintah, bank sentral meyakini pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5%-5,4%. Pada kuartal II/2016, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,94%.
Pada kuartal III/2016, BI juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5,2% sehingga sepanjang tahun ini tercapai 5,09%. Dia masih mencermati pemotongan anggaran pemerintah apakah terkait anggaran yang bisa dihemat atau dikurangi sehingga tidak menganggu target pertumbuhan ekonomi.
“Kami masih harus lihat bagaimana detilnya. Tapi kalau seandainya penerimaan negara sulit untuk dicapai seperti yang dicantumkan di APBNP lalu, diputuskan revisi, menurut saya itu kebijakan yang baik. Kami yakin itu ciptakan confidence pasar,” ucapnya, di Jakarta, Kamis (4/8/2016).
Lebih jauh, dia memperhatikan bahwa pemangkasan anggaran terjadi bukan karena kekhawatiran gagalnya repatriasi dana dari kebijakan amnesti pajak. Menurutnya, amnesti pajak berkaitan dengan penampangan penerimaan negara dengan membayar tebusan dan repatriasi dana.
Repatriasi dana masuk ke perekonomian, tapi tidak masuk ke kas negara. Dia memahami bahwa pemerintah tengah berhati-hati dampak dari perkembangan ekonomi dunia. British Exit dan kondisi ketidakpastian akibat pertentangan geopolitik, kemanusiaan, dan teroris menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia kembali dikoreksi turun.
Bank sentral memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini bisa merosot ke 3% dan 3,1% di 2017. Agus menyatakan revisi APBN menunjukkan bahwa pemerintah berhati-hati dalam menjaga kredibilitas anggaran negara.
Di tengah situasi global yang tidak menentu, dia menyebutkan Indonesia masih menarik bagi investor karena arus dana asing yang masuk hingga 29 Juli 2016 (year to date) mencapai Rp129,7 triliun atau naik dari pekan lalu yang masih pada level Rp128 triliun.
“Ini kalau dibanding seminggu lalu Rp128 triliun, kok jumlahnya tidak begitu tinggi? Ini karena satu minggu ada perhatian investor pada perkembangan kebijakan yang akan diambil Bank of Japan dan The Fed, jadi semua waspada,” katanya.