Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Utang Meningkat, Indonesia Harus Berhemat

Pemerhati masalah ekonomi dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat Benny Dwika Leonanda ST, MT berpendapat Indonesia harus melakukan penghematan karena hutang negara dan swasta dalam setahun meningkat.
Ilustrasi/Reuters
Ilustrasi/Reuters

Bisnis.com, PEKANBARU -  Pemerhati masalah ekonomi dari Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat Benny Dwika Leonanda ST, MT berpendapat Indonesia harus melakukan penghematan karena hutang negara dan swasta dalam setahun meningkat.

"Peningkatan hutang negara dan swasta dalam setahun terakhir tidak akan mampu memperbaiki ekonomi dalam waktu dekat di tengah penurunan pendapatan pemerintah sehingga diperlukan efisiensi belanja pegawai dan pengangkatan PNS," kata dia dihubungi dari Pekanbaru, Senin (27/6/2016).

Ia mengatakan itu terkait telah terjadi "epicentrum ekonomi" (pusat guncangan ekonomi, red) di Inggris pada Jumat (24/6) 2016 dengan kerugian mencapai 385 miliar Dolar AS dalam waktu delapan jam. Berikutnya kerugian mencapai 208 triliun dolar AS dalam waktu satu hari telah terjadi goncangan ekonomi di seluruh pasar dunia, lebih besar dari pada krisis ekonomi tahun 2008 di Amerika Serikat yang hanya 1,99 triliun dolar AS.

Menurut dia, dampak dari efisiensi memang ada antara lain ketidakpuasan penduduk pada Pemerintah kendati distribusi barang masih terkendali oleh kartel dengan baik.

Ia memprediksi suatu saat nanti Indonesia dalam kondisi "default", tidak mampu membayar hutang tanpa hutang baru.

"Kondisi ekonomi Indonesia saat ini pun, juga tidak dalam keadaan yang baik. Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 yang melambat dibawah 5 persen, justru sudah memicu PHK massal diberbagai perusahaan elektronik, otomotif, dan negeri awal tahun 2016," katanya.

Ia menilai bahwa pada kuatral pertama tahun 2016 juga demikian walaupun sedikit perbaikan dari tahun 2015 akan tetapi tidak membantu pertumbuhan ekonomi dan pasar tetap lesu, pendapatan pemerintah dari pajak tidak menentu sehingga diakhir Mei 2016 anggaran negara akan defisit sebesar Rp198, 1 triun.

Defisit tersebut cukup besar, katanya, dan telah menghabis 69,3 persen dari kemungkinan jatah defisit pemerintah tahun 2016, sehingga pemerintah terpaksa memotong anggaran seperti yang tercantum dalam Inpres nomor 4 tahun 2016.

"Bahkan berbagai Kementrian pun tentunya terpaksa memotong anggaran mereka dan menghapus berbagai subsidi dan program kegiatan yang berlaku selama ini. Ini menandakan bahwa anggaran belanja perlu dihemat. Kondisi ini tentu saja memicu pertumbuhan ekonomi negara pada masa datang," katanya.

Namun dilemanya, kata Benny lagi, ekonomi Indonesia mengkerut dan memungkinkan akan mengalami depresi jika peningkatan konsumsi masyarakat tidak tercapai.

"Oleh karena itu siapa yang harus memperbaiki hal ini dan masyarakat tidak bisa dibiarkan tiba-tiba berhadapan dengan kondisi ekonomi sulit pada masa datang?" katanya.

Langkah penghematan dari pemerintah dan masyarakat harus dilakukan, agar setelah 2025 Indonesia tidak terancam "tidak ada lagi" apalagi arus globalisasi berjalan dengan cepat, dan goncangan sosial dan ekonomi akan terjadi pada masa datang.

Dampak goncangan ekonomi tersebut katanya, tentu akan ada proses integrasi di berbagai negara di dunia, dan akan ada proses desintregerasi, melibatkan negara-negara ditempat lain.

"Ketegangan Cina pun akan memainkan peranan penting dalam hal ini. Indonesia tidak bisa mengelak apapupun yang akan terjadi pada masa datang, namun tetap berharap berada dalam aman-aman saja, sehingga lebih baik mempersiapkan diri dari sejak dini dari pada tidak melakukan apa apa," katanya.

Artinya dengan menahan laju konsumsi dan banyak menabung mungkin membantu dalam menghadapi hal tersebut, ketika jumlah uang cukup akan banyak membantu dalam menghadapi goncangan ekonomi dalam negara dan kawasan, sebab ekonomi negara dunia tidak berjalan dengan baik pada masa datang.

Kirisis ekonomi yang paling dekat kemungkinan terjadi pada tahun 2018, mengikuti siklus krisis ekonomi sepuluh tahunan, yakni tahun 1998 dan 2008. Cuma episentrumnya belum diketahui berasal di negara mana. Apakah terjadi di Indonesia seperti tahun 1998 atau seperti yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2008.

"Kemungkinan yang paling besar terjadi berikutnya adalah di Cina dan diikuti kejatuhan bank Singapura karena kondisi "buble ekonomi" yang siap meletus pada kedua negara tersebut.

Sementara itu Indonesia dengan ketergantungan ekonomi sangat besar terhadap kedua negara tersebut pasti mengalami goncangan, jadi tidak ada salahnya bersiap-siap dari sekrang. Kalaupun jika krisis tersebut tidak terjadi Indonesia mempunyai cadangan uang sebagai bonus dari penghematan yang dilakukan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Sumber : ANTARA
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper