Bisnis.com, DEPOK - Pemerintah diminta mewaspadai gerak-gerik International Tax and Investment Center (ITIC) karena diduga memiliki agenda tersembunyi dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah.
Ekonom sekaligus Wakil Ketua Lembaga Demografi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menuturkan pemerintah harus hati-hati pada rekomendasi-rekomendasi yang diberikan ITIC.
"Negara bisa dijadikan alat oleh industri rokok untuk mengeruk keuntungan melalui kebijakan pengendalian rokok yang lemah, terutama kebijakan cukai yang sangat efektif menurunkan konsumsi rokok,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima, Senin (23/5/2016).
Hari ini, Senin (23/5/2016) 13th Annual Asia-Pacific Tax Forum yang digagas ITIC dibuka di Jakarta. Lembaga yang mengklaim dirinya sebagai sebuah lembaga penelitian dan edukasi nirlaba yang independen tersebut mengaku akan membawa reformasi pajak di Indonesia.
Namun, sesungguhnya, di balik pendekatan ITIC pada pemerintah Indonesia, menyusup agenda tersembunyi industri rokok.
Dugaan agenda tersembunyi tersebut terutama dalam isu pengendalian tembakau, seperti dalam hal pajak/cukai rokok, mengingat apa yang telah dilakukan ITIC di negara-negara lain.
Oleh karena itu, pemerintah harus tidak membuat komitmen pada ITIC. Tax reform menjadi catatan yang harus dikaji ulang khususnya pada Bagian Cukai Tembakau karena akan mengorbankan rakyat yang jadi target pasar rokok murah untuk keuntungan industri.
Kartono Mohamad, Ketua Tobacco Control Support Center (TCSC) sekaligus Anggota Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau menuturkan apa yang dilakukan ITIC di negara-negara yang didekatinya sebenarnya hanyalah sebuah kamuflase untuk agenda tersembunyi yang disusupkan para petinggi industri rokok.
Menurutnya, hal tersebut merupakan salah satu strategi mereka demi melanggengkan bisnisnya dengan cara halus.
"Para pejabat pemerintah, terutama di Kementeri Keuangan, sangat potensial untuk dipengaruhi. Ini sangat berbahaya bagi upaya pengendalian tembakau sebagai usaha perlindungan rakyat,” ujarnya.
Keterangan tersebut juga menambahkan, pada 2015, ITIC bertemu dengan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Dalam pertemuan itu, Presiden ITIC Daniel Witt memberikan buku Excise Tax in ASEAN: A Guide to Reform Ahead of AEC 2015 kepada Wapres.
Witt menyebutkan bahwa buku ini membahas di antaranya pemberlakuan bea cukai untuk perdagangan lintas perbatasan, misalnya cukai untuk komoditi seperti rokok, alkohol, dan sebagainya.
Buku tersebut juga telah diberikan kepada Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Hal itu diduga merupakan langkah awal pendekatan ITIC ke pemerintah Indonesia.
Hal pertama yang harus dipertanyakan, demikian keterangan tersebut adalah apakah benar ITIC independen? Pada kenyataannya, di jajaran dewan direksi ITIC berdiri empat industri rokok besar, yaitu Philip Morris (PMI), Japan Tobacco International (JTI), British American Tobacco (BAT), dan Imperial Tobacco.
Dua tahun setelah berdiri, ITIC mengungkapkan bahwa mereka menyediakan akses atau dukungan dalam pembuatan kebijakan untuk sponsornya, termasuk para perusahaan rokok transnasional tersebut.
ITIC telah melobi berbagai negara untuk menentang kebijakan pajak tembakau. Mereka membuat manual pajak yang intinya memudahkan iklim investasi tetapi terselip di dalamnya chapter tentang cukai produk tembakau.
"Kehendak mereka jelas, yaitu agar pemerintah tidak menaikkan cukai yang tinggi pada rokok, suatu hal yang bertentangan dengan aturan internasional termasuk Bank Dunia."
Pada Mei 2015, Bank Dunia menarik dukungan keuangan untuk 12st Annual Asia-Pacific Tax Forum di New Delhi, India, yang sedang diselenggarakan oleh ITIC.
Bank dunia menolak memberi dukungan dan pemerintah India tidak mengirim pejabat tingginya ke forum tersebut. Semua dilakukan demi perlindungan masyarakat dengan memberikan pengecualian pada produk tembakau.