Bisnis.com, JAKARTA – Harga beras dalam negeri yang kerap dinilai berada di level tinggi mengundang perhatian banyak pihak, mengingat komoditas tersebut merupakan bahan pangan utama penduduk Indonesia. Merespons hal itu, Kementerian Pertanian menyebut banyak aspek yang menjadi penyebabnya.
Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, Gardjita Budi, mengatakan, harga beras yang tak kunjung turun merupakan akumulasi dari banyak faktor, salah satunya tata niaga.
“Soal harga beras ini masalahnya kompleks. Negara kita merupakan negara kepulauan dan hanya beberapa sentra produksi yang produksinya surplus, sehingga dapat dikirim ke luar daerah, ada sekitar 17-19 provinsi yang surplus,” jelas Gardjita di Jakarta, Rabu (4/5/2016).
Dikatakan, saat ini pun disparitas harga antara konsumen dan produsen amat besar. Bahkan, meski harga di tingkat petani jatuh, harga di tingkat konsumen tetap tinggi. Menurutnya, hal ini merupakan persoalan dalam rantai pasok atau tata niaga.
“Gap antara produsen dan konsumen itu tidak memengaruhi harga. Benar produksinya ada, namun distribusi dari produsen ke konsumen itu banyak tantangannya. Perlu ada pembenahan tata niaga,” ungkap Gardjita.
Sementara itu, Poverty Specialist World Bank Jakarta, Maria Monica Wihardja, menyampaikan pemerintah sebaiknya tidak bersikap anti-impor dalam mengupayakan kedaulatan pangan. Menurutnya, impor merupakan jalan alternatif yang dapat dilakukan sambil meningkatkan produktivitas dan produksi pangan.
“Kalau kita lihat dari sejarahnya, untuk mencapai self sufficient itu dengan meningkatkan produksi dan produktivitas, bukan dengan menutup jalur perdagangan, karena itu justru dampaknya bisa kenaikan harga,” jelas Maria.