Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan pemerintah yang kerap memutuskan kebijakan importasi pangan mendekati tenggat kebutuhan dinilai menjadi penyebab signifikan tingginya harga komoditas pangan utama dalam negeri.
Hal tersebut menyebabkan meski impor dibuka, harga bahan pangan tetap tidak terkerek turun. Kebijakan tersebut menjadi tidak efisien. Harga pangan dalam negeri tetap tinggi saat harga pangan global tengah melemah.
Poverty Specialist World Bank Office Jakarta, Maria Monica Wihardja merekomendasikan untuk dapat menjaga harga pangan stabil, pemerintah seharusnya melakukan persiapan dan pendataan sejak jauh sebelum proyeksi masa paceklik produksi.
Dia member contoh komoditas beras. Dengan klaim produksi yang diperkirakan mencapai surplus 9 juta ton dan realisasi impor beras sebanyak 800.000 ton, seharusnya harga beras nasional terus turun signifikan. Meski turun, harga beras saat ini tetap berada di level tiggi.
“Khusus untuk beras itu volume yang diperdagangkan di pasar global memang tidak banyak, hanya 7%-8% dari total produksi, jadi kecil sekali, dan lima negara produsen utama itu menguasai hingga 80% pasar internasional,” kata Maria di Jakarta, Rabu (4/5/2016).
Maria menjelaskan peningkatan harga beras dalam negeri yang stabil di level tinggi menunjukkan terjadinya defisit di pasar. Menurutnya, dengan surplus hampir 10 juta ton, harga beras seharusnya tidak lagi menjadi persoalan bagi pemerintah.
Skema yang selama ini berlangsung di pemerintahan yaitu saat harga menunjukkan kenaikan signifikan, pemerintah akan langsung mengadakan rakortas dan impor harus direalisasikan dalam beberapa pekan berikutnya.
Kondisi ini menyebabkan pemerintah, lembaga negara, atau pihak swasta yang harus melakukan impor harus segera mencari sumber-sumber produksi dengan harga murah. Padahal, saat terdesak, negara lain tidak akan menjual komoditas mereka dengan harga rendah.
“Saya pikir impor itu bukan hal yang jelek, namun sebagai alternatif sampingan selain upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi dan produktivitas. Pasar luar negeri juga terbatas dan tidak mudah mencari kalau tiba-tiba butuh impor. Kalau pun belum perlu, bisa disimpan,” kata Maria.
Dia menggarisbawahi sejarah perberasan Indonesia menunjukkan negara mengimpor rata-rata 5% dari konsumsi, sehingga perlu ada antisipasi atas kebutuhan tersebut.
Bisnis mencatat pemerintah memang kerap tergesa-gesa dalam memutuskan importasi pangan. Tahun lalu, keputusan impor beras diambil awal November dan harus segera direalisasikan. Padahal, sejak tahun sebelumnya, badan iklim sejumlah negara telah memproyeksikan terjadinya El Nino.
Kendati demikian, di awal tahun ini Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyebut impor beras tersebut seharusnya tidak perlu dilakukan karena produksi dalam negeri melimpah. Tindakan yang sama juga terjadi pada komoditas lain seperti gula, jagung, dan sapi.
Ketua Departemen EKonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri menyampaikan faktor lain yang menyebabkan harga pangan tinggi meski impor dibuka yaitu sistem kuota volume impor yang ditetakan pemerintah.
“Sistem pembatasan melalui kuota tersebut justru rawan pembentukan rente ekonomi. Jika disparitas harga dalam negeri dan di internasional semakin lebar, maka peluang terjadi kartel semakin kuat,” terang Rizal.
Dia mengatakan salah satu studi menujukkan jika pembatasan melalui sistem kuota terus dilakukan, maka harga beras berisiko naik hingga 25% pada 2020 dan kalau pembatasan impor dihilangkan, harga beras pada saat itu berpotensi turun 14,47%.