Bisnis.com, JAKARTA - Kajian Tata Kelola Hutan 2015 menemukan dugaan praktik ekonomi biaya tinggi yang mencapai Rp10 miliar terkait dengan pengurusan Izin Pinjam pakai Kawasan Hutan di Indonesia.
United Nations Development Programme (UNDP), Selasa (26/4/2016), meluncurkan Kajian Tata Kelola Hutan 2015 yang memuat berbagai persoalan tata kelola hutan di Indonesia. Kajian itu menyebutkan empat aspek dalam pengelolaan yakni kepastian kawasan hutan; keadilan atas sumber daya hutan; transparansi dan integritas pengelolaan hutan; serta kapasitas penegakan hukum.
Salah seorang penulis laporan itu, Hariadi Kartodiharjo mengatakan sedikitnya terdapat empat izin dalam kawasan hutan yang dianalisis melalui laporan tersebut. Izin itu adalah Izin Pemanfaatan Kayu; Izin Pinjaman Kawasan Hutan; Izin Pelepasan Kawasan hutan; dan Tukar Menukar Kawasan Hutan.
Kajian itu menemukan khusus Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, 46% responden menyatakan proses izin berada di level stagnan, sedangkan 23% lainnya malah menyatakan terjadinya kemunduran. Sekitar 31% responden menyatakan sebaliknya, yakni ada kemajuan.
UNDP juga menemukan biaya yang digelontorkan untuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada 2013, mencapai sekitar Rp15 miliar, tergantung dengan luasannya. Sedangkan pada 2015, studi itu menemukan data bahwa biaya yang dikeluarkan mencapai Rp10 miliar.
"Tanpa gratifikasi, pelaku usaha melihat proses pengurusan perizinan berlangsung lama," kata Hariadi saat memaparkan kajian tata kelola itu di Jakarta, Selasa (26/4). "Dan dari sisi pelaku usaha, gratifikasi berarti keleluasaan untuk mendapatkan kemudahan dan keuntungan."
Terkait dengan kebijakan perizinan sektor kehutanan, studi itu menemukan 39% responden menyatakan kebijakan perizinan masih berada di tahap stagnan, sedangkan 20% lainnya menyatakan mengalami kemunduran. Sisanya, 41% responden mengatakan terdapat kemajuan.
BIAYA TRANSAKSI
Di sisi lain, Penasihat Senior Kehutanan UNDP Abdul Wahib Situmorang menegaskan, biaya transaksi perizinan itu memang memberatkan pengusaha, khususnya pada sejumlah varian pungutan. Komponen pungutan yang dimaksud adalah transportasi hasil hutan di lapangan; sumbangan ke Pemerintah Daerah; pengesahan berbagai dokumen kerja, tenaga teknis perusahaan; serta upaya memfasilitasi proses pengawasan.
Indeks Kajian Tata Kelola Hutan itu sendiri menempatkan skala 2,9 terhadap nilai keseluruhan tata kelola, dari skala 1 (maju) sampai dengan 10 (sangat maju). Wahib menuturkan kemajuan yang terjadi dalam pengelolaan sektor kehutanan masih tidak signifikan.
"Dengan kata lain, pekerjaan rumah masih banyak yang perlu diselesaikan. Ini bisa digambarkan dengan cukup tingginya pandangan responden yang mengatakan stagnan dan mundur," kata Wahib.
Kajian itu merekomendasikan agenda seperti percepatan perizinan yang berlaku secara nasional, perlu mendapatkan tekanan bahwa perbaikan regulasi juga berarti perbaikan kapasita lembaga. Hal itu mencakup kesamaan data dan peta, kapasitas insan, pemeriksaan program serta anggarannya.
Responden dari kajian yang diluncurkan UNDP terdiri dari kelompok dan perorangan, yang dipilih karena mengetahui dan mengalami peristiwa yang menjadi dasar dalam penilaian tata kelola. Mereka terdiri dari masyarakat, pengusaha, organisasi sipil, akademisi, dan pemerintah.