Bisnis.com, JAKARTA – Skema sanksi bagi negara-negara yang tidak patuh mengimplementasikanbase erosion and profit shifting (BEPS) dan automatic exchange of tax information in financial sector (AEoI) akan ada sebelum 2018.
Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengungkapkan dalam pertemuan G20 pekan lalu, seluruh negara sepakat perlunya sanksi tersebut. Namun, Organisation for Economy and Country Development (OECD) akan menggodoknya lebih lanjut.
“Pokoknya sebelum 2018 harusnya sudah ada mekanismenya,” katanya seperti dikutip Minggu (24/4/2016).
Pemilihan waktu tersebut dikarenakan implementasi BEPS dan AeoI dilakukan mulai 2018. Indonesia sendiri dikabarkan batal menjadi bagian dari early adopters, yang menurut rencana akan mulai implementasi September 2017. Karena masih membutuhkan beberapa persiapan, Indonesia masuk list 2018.
Setelah dilemparkannya wacana pengenaan sanksi tersebut di forum G20, lanjut Bambang, akan ada pembicaraan lebih lanjut terkait bentuk sanksi. Seperti diberitakan sebelumnya, Indonesia mengusulkan sanksi semacam pengucilan pergaulan keuangan internasional.
Selain bentuk sanksi, ada juga masalah pihak pemberi sanksi itu. Saat ini, sebenarnya sudah ada Global Tax Forum yang setiap tahunnya melakukan kajian terhadap tingkat keterbukaan pajak. Namun, imbuhnya, kajian itu sifatnya hanya assessment bukanenforcement.
Menurut Bambang, pendorongan adanya sanksi itu diperlukan karena kedua inisiatif G20 tersebut sangat penting dalam memerangi upaya penggelapan dan penghindaran pajak oleh banyak perusahaan multinasional dan individual. Mereka, sambungnya, memanfaatkan tax haven countries dan celah hukum di instrumen keuangan.
Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan nantinya ada tim atau working group yang akan menggodok lebih lanjut soal pengenaan sanksi bagi negara-negara yang tidak mau ikut serta, menyatakan ikut tapi selalu menunda implementasi, ataupun melanggar ketentuan.
Kendati demikian, pasca bocornya dokumen Panama Papers, seluruh negara mengakui pentingnya memerangi kejahatan perpajakan antarnegara. Inisiatif BEPS yang sudah dibicarakan lima tahun terakhir pun menjadi sangat relevan.
“Kemarin [dalam pertemuan G20] juga diumumkan masih ada dua negara yang belum menyatakan secara eksplisit mengimplementasikan AEoI. Kedua negara itu Bahrain dan Panama. Tapi terakhir, Panama nyatakan akan ikut,” jelasnya.
Informasi Perbankan
Suahasil pun memaparkan masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Indonesia dalam pengimplementasian AEoI. Pekerjaan rumah yang paling besar yakni terkait dengan keterbukaan informasi perbankan untuk kepentingan perpajakan.
Aspek ini sangat penting karena akan menjadi pintu masuk pembuatan standar pelaporan atau common reporting standard (CRS). CRS ini menjadi patokan standar pelaporan data yang saling ditukarkan antar negara melalui masing-masing otoritas.
Revisi aturan itu, lanjutnya, mutlak dilakukan karena Indonesia hingga saat ini masih menganut sistem kerahasiaan data perbankan, terutama untuk keperluan pajak. Keterbukaan data itu, selama ini hanya diberikan untuk keperluan proses pemeriksaan.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 35 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kerahasiaan data atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya ditiadakan untuk tiga keperluan, yakni pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Kecuali untuk bank, kewajiban peniadaan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
Ketakutan akan larinya nasabah ke luar Tanah Air pasca peniadaan kerahasiaan data perbankan untuk keperluan perpajakan, menurut Suahasil tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, penduduk dibeberapa negara yang sudah menghilangkan kerahasiaan data bank justru senang karena ada transparansi dan clear.
“Dalam konjteks itulah, karena kita mau masuk AEoI, clear itu sangat penting. Makanya ada tax amnesty [sekaligus merevisi aturan terkait keterbukaan data perbankan],” katanya.