Bisnis.com, DENPASAR - Keputusan Gubernur Bali melarang operasional Grab Car dan Uber Taxi di Bali dinilai kontraproduktif dengan pemerintah pusat.
Anggota DPD Bali Gede Pasek Suardika mengatakan larangan itu tidak meredam gejolak di lapangan, tetapi justru menimbulkan gejolak baru.
“Pusat sudah rapat untuk memberikan waktu dua bulan kepada dua aplikasi itu mengurus. Kalau sekarang Bali meminta diblokir dua layanan itu, apa itu artinya bukan berbeda dengan pusat,” ujarnya, Jumat (8/4/2016).
Menurutnya, akan lebih bijak bila pemda di Bali menunggu terbitnya aturan dari pusat terkait layanan kendaraan berbasis aplikasi daring. Dia menegaskan larangan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang legal, karena tidak ada perda yang mengatur.
Selain itu, kendaraan yang bergabung dengan layanan tersebut rata-rata sudah mengantongi perizinan dari pemda. Lebih lanjut ditegaskan apabila kemajuan teknologi tidak bisa dihindari, tetapi dapat dikendalikan.
"Kalau soal aplikasi itu perkembangan. Di mana-mana ini memang masalah, tetapi tren baru. Kalau memang mau tegas melarang, harusnya Disperindag juga harus tegas melarang Lazada, OLX, dan Bukalapak, kan itu bisa saja diklaim merugikan pedagang," jelasnya.
Pasek menyarankan agar Pemprov Bali menggandeng sejumlah pengembang aplikasi lokal yang memiliki ide sejenis. Dia menuturkan sudah melakukan diskusi dengan pemuda di Bali, dan ternyata ada yang bisa mengembangkan dua aplikasi mirip tetapi tanpa sharing alias gratis bagi sopir.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengusulkan agar pemda menggandeng pengembang aplikasi lokal tersebut agar dapat menambah pemasukan asli daerah (PAD). Selain itu, memberikan pelatihan kepada sopir agar lebih sopan melayani tamu menggunakan dana penyisihan PHR.
"Artiya tida mungkin lawan karena teknologi. Apalagi lembaga knsumen sudah ada ungkap kalau turunkan penumpamg ada ancamannya," jelasnya.
Terkait desakan sejumlah pihak agar Grab dan Uber tidak membanting harga sehingga merusak pasaran. Pasek mengaku sudah mendapatkan penjelasan dari manajemen dua aplikasi tersebut dan keduanya justru menyatakan secara hitung-hitungan, tarif mereka lebih mahal dari angkuta sewa konvensional.
"Kata Grab, di sini harga sewa angkutan12 jam sekitar Rp400.000, tetapi kalau Grab justru lebih mahal sampai Rp550.000, cuma hitungannya kan dihitung per jam atau sekali jalan. Susah juga kalau begitu penjelasannya," tuturnya.