Bisnis.com, JAKARTA - Buat pengusaha, tidak selamanya semua soal untung dan rugi. Sewaktu-waktu prinsip dan rasa keadilan jauh lebih penting. Rasa keadilan itu yang mendorong Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) berjuang di meja hijau selama 14 tahun.
Persoalannya adalah perselisihan antara pengusaha di sektor pertambangan dan pemerintah provinsi dan dinas pendapatan daerah soal pajak, terutama di Kalimantan.
Daerah seperti Kalimantan yang menikmati booming industri pertambangan dalam dua dekade terakhir menerapkan berbagai retribusi dan pajak daerah untuk menggenjot pendapatan asli daerah.
Langkah yang bisa dimaklumi, mengingat dampak luar biasa industri pertambangan terhadap wilayah mereka. Mulai dari lonjakan beban bagi infrastruktur seperti jalan dan jembatan, dampak perubahan kondisi tanah dan kontur wilayah, hingga pertambahan jumlah penduduk.
Salah satu yang menjadi subyek pungutan daerah adalah kendaraan bermotor. Ledakan jumlah truk pengangkut sawit dan mineral yang lalu lalang membuat pendapatan asli daerah sentra pertambangan dan perkebunan dari pajak kendaraan bermotor hingga uji tipe meningkat pesat.
Apalagi pajak itu dipungut secara periodik, yang berarti bisa menjadi pendapatan tetap andalan. Namun, pemerintah daerah masih belum cukup puas dengan memajaki truk.
Mereka juga ingin penerimaan sejenis mengalir dari ribuan alat berat yang beroperasi di lahan perkebunan dan pertam bangan di daerah mereka. Peluang tersebut dibuka oleh terbitnya Undang Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tahun 2009.
Beleid tersebut mencantumkan perubahan yang signfikan bagi industri alat berat dan sektor bisnis yang mengandalkan alat berat. Alat berat dicantumkan sebagai bagian dari kendaraan bermotor.
Artinya, pemilik alat berat memiliki kewajiban yang sama dengan pemilik kendaraan bermotor untuk membayar pajak kendaraan bermotor, uji tipe, hingga membayar bea balik nama.
Perlakuan ini dirasakan tidak adil oleh anggota Aspindo yang bisnisnya bergantung pada alat berat. Aspindo bersama beberapa asosiasi lain menggugat UU no.28/2009 ke Mahkamah Konstitusi setelah keberatannya ditolak oleh pemerintah dan DPR, pada 2002.
Sayangnya, gugatan Asmindo ke MK juga ditolak oleh para hakim konstitusi. MK menegaskan penerapan pajak pada alat berat sebagai kendaraan bermotor telah sejalan dengan Undang Undang no. 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan yang mengatur definisi alat berat.
Tidak patah semangat, Asmindo meneruskan perjuangan dengan menggugat definisi UU No. 22/2009 tentang alat berat. Percobaan kedua berbuah manis.
Hakim MK mengabulkan gugatan anggota Asmindo dan menyatakan alat berat bukan kendaraan bermotor melalui putusan No. 3/2015 yang diterbitkan pada 31 Maret 2016.
BEBAS PUNGUTAN
Dampak putusan MK ini tidak hanya berpengaruh pada perusahaan anggota Aspindo. Berbagai bisnis di bidang konstruksi, perkebunan, hingga pelabuhan yang menggunakan alat berat kini terbebas dari pungutan yang biasanya dikenai bagi kendaraan bermotor.
“Coba bayangkan saat keadaan seperti ini. Alat berat yang tidak dioperasikan tetap harus bayar pajak dan retribusi tiap tahun. Ini kan alat produksi. Pemerintah harusnya memungut pajak dari hasil produksi, bukan alat produksinya,” kata Ketua Umum Aspindo Tjahjono Irmawan.
Dampaknya bukan hanya soal pajak. Pengguna alat berat sekarang tidak perlu lagi takut merekayasa peralatan milik mereka sesuai dengan kebutuhan proses produksi.
Saat tergolong sebagai kendaraan bermotor, alat berat terikat aturan yang melarang modifikasi. Aturan ini menyulitkan pengguna alat berat yang biasanya harus menyesuaikan kemampuan dan dimensi alat berat sesuai karakter khas di pabrik, tambang, lahan konstruksi atau perkebunan mereka.
Harapan juga muncul dari produsen alat berat yang beberapa tahun terakhir tertekan oleh penjualan yang rendah. Ketua Umum Asosiasi Industri Alat Besar Indonesia (Hinabi) Jamaludin menyambuat baik yang diharapkan bisa meringankan beban konsumen pengguna alat berat di Nusantara dan meningkatkan permintaan.
“Tadinya kan jadi buat alat berat semakin mahal karena banyak pajak yang berkali-kali. Masa disamakan dengan kendaraan bermotor, apa mau alat berat masuk jalan umum.”
Ali Nurdin, kuasa hukum Aspindo dari Constitution Centre Adnan Buyung Nasution dalam gugatan ke MK, meminta Asmindo dan asosiasi lain yang kepentingan bisnisnya terkait dengan alat berat terus mengawal putusan MK tersebut.
Dia menjelaskan penghapusan definisi alat berat sebagai kendaraan bermotor tidak berarti pemerintah tidak bisa menerapkan pajak lain kepada alat berat. Ali mengingatkan para pengusaha aktif memberikan saran dan pendapat ke pemerintah agar perlakuan yang adil diberikan bagi industri alat berat dan pengguna alat berat.
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin I Gusti Putu Suryawiryawan mengatakan aturan industri tidak pernah menya makan perlakuan antara alat berat dan kendaraan bermotor lain. “Di kita sudah dibedakan yah. Alat berat itu kan bukan untuk angkutan.”
Perjalanan Aspindo menunjukkan pelaku bisnis tidak harus selalu menyerah terhadap ketidakadilan. Asosiasi dan pebisnis lain jangan ragu menempuh perjalanan yang sama, apalagi terperosok kepada tindakan korupsi karena putus asa menghadapi tekanan kekuasaan.
Hukum Indonesia masih berpihak kepada pencari keadilan. “Kami bukan tidak mau membayar pajak, tetapi kami cuma ingin diperlakukan adil,” kata Tjahjono.