Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Utang ke China Melejit 59%, Gerindra Minta Pemerintah Beri Penjelasan

Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan menunjukkan data statistik utang luar negeri (ULN) Indonesia kepada China melonjak hingga 59% dalam kurun satu tahun belakangan.
Ilustrasi/Bisnis-Saeno M Abdi
Ilustrasi/Bisnis-Saeno M Abdi

Bisnis.com, JAKARTA - Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan menunjukkan data statistik utang luar negeri (ULN) Indonesia kepada China melonjak hingga 59% dalam kurun satu tahun belakangan.

Hasil tersebut menunjukkan utang ke China mengalami kenaikan signifikan hanya dalam setahun jika dibandingkan dengan empat kreditor lainnya seperti Bank Dunia, AS, Jepang dan Jerman.

Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Djenri Keintjem menuturkan bahwa utang tersebut tidak bisa anggap selalu merugikan negara.

“Selama pemerintah butuh untuk membiayai infrastruktur dan kondisi ekonomi kita lagi bagus ya no problem,” tuturnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (23/3/2016).

Djenri menilai pemberian kredit China ke Indonesia tidak selalu melalui pemerintah (g-to-g). “Itu kan gak semuanya masuk melalui perusahaan negara, ada juga yang dari swasta. Banyak modal dari China yang masuk dari sini antara lain bussiness to bussiness, investor ke investor,” ujar politisi PDI Perjuangan itu.

Dia mengambil contoh salah satu kredit China yang diberikan ke Indonesia adalah melalui sistem perbankan. “Contohnya, kredit yang diberikan pemerintah China melalui CDB (China Development Bank) yang membiayai proyek-proyek infrastruktur dan usaha perdagangan lainnya.

"Itu kan kredit yang diambil oleh Bank-bank pelat merah seperti Mandiri, BNI dan BRI, dan kita untung disitu. Saran dari komisi XI jangan sampai dia (China) mematikan usaha di Indonesia karena dia kasih bunga kecil. Sementara itu, bank di Indonesia mengambil selisih dari bunga tersebut,” tuturnya.

Djenri menuturkan Komisi XI dalam RDP yang digelar bersama Gubenur BI dan Menteri Keuangan mendorong agar lebih banyak kredit yang dapat diterima untuk biaya pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Disinggung mengenai pengembalian utang ke China, Djenri menuturkan pemerintah telah menghitung segala konsekuensi yang ada. “Enggak mungkin kedua pihak tidak mau ada yang dirugikan. Nah pemerintah saat itu bisa menerima syarat-syarat perjanjian yang bisa diterima dengan kondisi ekonomi terburuk. Kalau tidak ada perhitungan seperti itu nanti bisa-bisa negara ini digadaikan ke asing,” tandasnya.

Meskipun berada dalam komisi yang sama, anggota DPR fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan, mengaku miris akan kebijakan pemerintahan Jokowi saat ini.

"Hanya ada satu kata: prihatin! Sudah kesekian kali kita mengingatkan pemerintah untuk tidak jor-joran menumpuk utang. Tapi, sepertinya pemerintah punya cara pikir yang berbeda. Kita tidak tahu persis apa yang ada dalam isi kepala pemerintah sekarang ini. Apakah ini kebijakan ekspansi, ataukah kebijakan dari para pemburu rente, sementara kebijakan di dalam negeri dibuat kontraksi," ujar Heri.

Dia mengatakan naiknya ULN kepada China hingga 59% membenarkan dugaan bahwa pemerintah sekarang benar-benar memosisikan dirinya sebagai “pelayan yang baik” bagi Negeri Tirai Bambu itu. "Pertanyaannya mengapa tidak ada penjelasan yang detil. Pemerintah terkesan menutup-nutupi," kata Heri.

Selama ini, lanjut Heri, banyak kasus ULN kepada China yang misterius seperti pinjaman kepada tiga bank BUMN (Mandiri, BRI, BNI), dan lain-lain. Menurutnya, hingga saat ini masih tidak ada penjelasan yang memuaskan dari pemerintah.

"Saya khawatir, dengan tidak adanya penjelasan yang komprehensif, pas kita bangun besok pagi, Semakin menegaskan negara ini sudah tergadai," cetusnya.

Lebih lanjut, Heri mengungkapkan dengan posisi seperti ini, negara sedang dihadapkan dengan naiknya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Dia menambahkan hari ini PDB sudah di atas 30%, sementara posisi debt service ratio (DSR) terus meningkat di atas 50%.

"Artinya, beban utang bangsa ini semakin besar dan berat. Lebih dari setengah pendapatan ekspor hanya habis untuk membayar utang ke asing," ungkapnya.

Menurut politisi Partai Gerindra itu, beban yang harus dibayar negara akan terasa lebih berat lagi di tengah buruknya kinerja ekspor nasional. "Kita semua tahu, penerimaan ekspor Indonesia, baik migas maupun nonmigas semakin menurun," ucapnya.

Heri menambahkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2015 menunjukkan neraca perdagangan migas tercatat defisit sebesar US$1,2 miliar, lebih rendah 55,2% (q-t-q), sedangkan neraca perdagangan nonmigas hanya surplus sebesar US$4,3 miliar atau lebih rendah dari surplus triwulan sebelumnya sebesar US$5,2 miliar.

"Kondisi itu seharusnya menjadi 'alarm' bagi pemerintah. Peringatan keras yang bisa membuka mata dan hati pemerintah untuk tidak terus-menerus mencari jalan pintas dengan berutang. Kabinet yang gembar-gembor dengan slogan Kerja... Kerja... Kerja... ditugaskan bukan untuk menggadaikan negeri ini kepada asing," tandas Heri.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper