Bisnis.com, JAMBI - Pengembang di daerah harus menjadi pengungkit untuk proyek Pembangunan Sejuta Rumah (PSR) yang menjadi salah satu program strategis nasional.
Salah satunya dengan mengubah cara kerja dari yang selama ini lebih banyak menunggu, menjadi lebih proaktif dan inovatif mengatasi berbagai hambatan di lapangan.
Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Banten Soelaeman Soemawinata mengatakan program PSR akan berjalan sulit tanpa ada dukungan penuh semua instansi pemerintah.
Pengembang sebenarnya hanya sukarelawan yang menyatakan kesediaan ikut menanggung beban pemerintah dalam penyediaan rumah rakyat.
“Pengembang swasta itu sudah mau menanggung sebagian besar beban pemerintah di sektor perumahan, maka tolong agar dibantu. Jangan justru sebaliknya dipersulit,” katanya dalam keterangan resmi yang dikutip Bisnis.com, Jumat (11/3/2016).
Ketua Ikatan Alumni Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut menambahkan di era otonomi daerah saat ini sangat terasa sekali adanya egoisme daerah yang justru menghambat program nasional termasuk PSR.
Oleh karena itu, pengembang di daerah terutama yang tergabung dalam asosiasi REI harus mengubah cara kerja dari hanya menunggu menjadi proaktif.
Menurut Soelaeman, REI di daerah harus lebih rajin melakukan pendekatan termasuk berusaha meyakinkan kepala daerah mengenai pentingnya membangun rumah untuk rakyat.
“Harus diubah yaitu cara kerja pengembang dari pasif menjadi aktif. Rantai birokrasi memang tidak bisa dilewati, namun pasti bisa dipercepat kalau semua pihak sudah punya visi dan tujuan yang sama untuk menyejahterakan rakyat," katanya.
REI Jambi tahun ini menargetkan dapat membangun sebanyak 5.000 unit rumah sederhana sehat.
Target itu, ungkap Soelaeman, akan mudah tercapai jika para pengembang di daerah itu mau meninggalkan pola lama dan berani melakukan terobosan-terobosan pasar yang jitu.
“Kami di Banten misalnya selain berhasil mendapatkan back-up dari pemerintah daerah, juga proaktif mencari pasar seperti mendatangi satu per satu instansi pemerintah dan industri yang ada di Banten untuk menawarkan rumah subsidi. Itu ide-ide yang perlu dilakukan untuk mempercepat program PSR ini," katanya.
Ketua DPD REI Jambi, Mohammad Miftah mengakui selain perizinan, hambatan penting lainnya yang masih dihadapi mayoritas pengembang di daerah tersebut adalah keterbatasan infrastruktur pembiayaan untuk mendanai pengadaan lahan, pengerjaan konstruksi proyek hingga tahap realisasi KPR.
“Pengembang kami di sini modalnya tidak besar, sehingga sangat perlu dukungan perbankan," kata Miftah.
Dukungan pembiayaan yang paling diharapkan adalah kredit modal kerja seperti Kredit Yasa Griya (KYG) dan Kredit Pembelian Lahan (KPL).
Selama ini, kata Miftah, proses untuk mendapatkan kedua kredit modal kerja tersebut di Jambi sangat susah dan butuh waktu panjang.
Apalagi saat ini baru Bank BTN yang menyiapkan fasilitas kredit tersebut.
Untuk mendapatkan KYG dan KPL, rata-rata pengembang secara fisik harus sudah menguasai lahan dan mengantongi berbagai perizinan terlebih dahulu, baru dapat mengajukan kredit.
Dengan kata lain pengembang harus punya modal sendiri dahulu untuk mendapatkan KYG dan KPL.
Selain itu, REI Jambi juga meminta supaya porsi KPL dapat ditingkatkan dari saat ini yang hanya sekitar 50% dari total kebutuhan biaya pembelian lahan menjadi minimal 70%, sehingga pengembang bisa melakukan investasi cadangan lahan lebih besar untuk meningkatkan pasokan rumah rakyat.