Bisnis.com, SURABAYA - Real Estate Indonesia (REI) Jawa Timur tahun lalu hanya merealisasikan sekitar 12.000 unit atau kurang separuh dari target penyediaan satu juta rumah di provinsi itu sebanyak 25.000 unit.
Wakil Ketua REI Jatim Herry Djauhari menyebutkan realisasi yang rendah itu terkendala pembebasan lahan yang sulit. Tak hanya Surabaya, kesulitan pengadaan lahan juga terjadi di Mojokerto, Pasuruan, dan Kota Kediri.
Kondisi itu diperparah dengan peraturan daerah yang tumpang-tindih dengan program Presiden Joko Widodo untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) itu.
"Ada perda yang membatasi luas tanah. Padahal kalau harga tanah naik, kami tinggal siasati di bangunan," papar Herry dalam Focus Group Discussion 'Berburu Hoki Bisnis Properti' yang digelar Bisnis Indonesia di Surabaya, Senin (29/2/2016).
Rantai perizinan yang panjang ikut membuat bisnis properti di beberapa daerah kurang kondusif karena membutuhkan waktu lama dan menguras biaya tinggi. REI mencatat pengurusan perizinan di kabupaten/kota di Jatim bisa mencapai 7 hingga 17 tahap.
Pada saat yang sama, PT PLN (Persero) menetapkan kuota listrik 900 watt setiap rumah dengan menyertakan surat keterangan tidak mampu. "Padahal, rata-rata pembeli rumah MBR adalah pegawai negeri. Itu tidak mungkin dianggap tidak mampu," ungkap Herry.
Di sisi lain, penyelesaian sertifikat sangat lama sehingga mengganggu akses pembiayaan perbankan. REI pun mencatat infrastruktur daerah masih kurang. Pengalaman traumatis akibat pemeriksaan oleh Ditjen Pajak ikut membuat beberapa pengusaha properti tidak berminat berekspansi.