Bisnis.com, JAKARTA - Sektor pertambangan sedang menghadapi masa sulit. Pertumbuhan sektor mineral dan batu bara pada 2015 minus 5,9%. Pelemahan sektor minerba ikut berkontribusi terhadap pelemahan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun lalu 4,79%.
Ada beberapa indikator terjadinya perlambatan sektor pertambangan.
Pertama, ekspor batu bara sepanjang 2015 hanya 295,45 juta ton turun 22,65% dibandingkan dengan tahun sebelumnya 381,97 juta ton. Kedua, ekspor mineral mentah sudah pasti nol setelah ada pelarangan ekspor sejak awal 2014.
Ketiga, produksi batu bara pada 2015 hanya 392 juta ton turun 14,41% dibandingkan dengan tahun sebelumnya 458 juta ton. Bakan, realisasi produksi 2015 tersebut di bawah target 425 juta ton.
Keempat, penurunan devisa dari sektor minerba baik dari sisi volume maupun nilai ekspor. Kelima, sepanjang tahun lalu, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) subsektor mineral dan batu bara hanya Rp29,631 triliun atau turun 14% dari realisasi tahun sebelumnya Rp35,371 triliun.
Batu bara memberikan kontribusi 80% terhadap kinerja sektor pertambangan. Pelemahan kinerja sektor pertambangan disebabkan oleh terpuruknya harga minyak mentah. Harga minyak sempat menyentuh di bawah US$30 per barel terendah dalam 12 tahun terakhir. Saat ini pun minyak masih terbenam di US$30 per barel.
Ketika harga minyak turun, maka harga komoditas termasuk pertambangan akan ikut terseret. Perekonomian global yang masih lesu juga menjadi penyebab minusnya kinerja pertambangan. Terutama pelemahan perekonomian China.
Bahkan, China yang selama ini sebagai pembeli terbesar batu bara dari Indonesia harus tergeser oleh India. Rentetetan itu smua memukul kinerja perusahaan tambang. Pada akhirnya kemampuan mereka untuk membayar utang pun terganggu.
Terlepas dari pelemahan harga, industri batu bara pun masih menghadapi berbagai tantangan. Sebagian besar batu bara yang diproduksi di Indonesia berkalori rendah.
Sementara di tengah pelemaan harga seperti ini, selisih harga batu bara berkualitas rendah dan kualitas tinggi semakin kecil. Akirnya konsumen memili batu bara berkualita tinggi.
Australia menggenjot produksi batu bara pada awal taun ini sehingga ikut menekan harga batu bara di pasar lobal. Di sisi lain, sebaian besar batu bara Australia berkualitas tinggi. Biaya produksinya pun lebih rendah dibandingkan di Indonesia. Hal tersebut berpotensi konsumen batu bara ‘lari’ ke Australia.
Pertanyaannya sampai kapan sektor pertambangan terpuruk?
Harga komoditas akan bergantung pada harga minyak. Sementara itu harga minyak pada tahun ini diprediksi masih berada di level rendah sekitar US$30 per barel. Artinya, harga komoditas termasuk pertambangan masih akan tertekan pada tahun ini.Selain itu, perekonomian global diproyeksi masih melambat sehingga masih menjadi sentimen negatif bagi pertambangan.
MASIH ADA PELUANG
Di tengah pelemahan harga komoditas, masih ada peluang dari proram Presiden Joko Widodo dalam proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt hingga 2019. Pembangunan pembangkit terutama PLTU dipastikan akan meningkatkan permintaan terhadap batu bara.
Permintaan batu bara di pasar domestik diharapkan mampu mendongkrak harga di tengah kondisi pasar global yang masih tidak menentu. Hal itu dapat terlihat dari pasokan batu bara untuk domestik yang terus meningkat.
Pasokan domestik pada 2015 naik menjadi 87,43 juta ton dibandingkan dengan dibandingkan dengan tahun sebelumnya 76,18 juta ton. Pasokan pasar domestik pada 2015 mencapai 22,3% dari total produksi batu bara 392 juta ton.
Peningkatan permintaan batu bara dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) juga diharapkan mampu memperbaiki harga batu bara. Namun, peningkatan pasar domestik tidak akan terlalu signifikan mendongkrak harga batu bara karena porsi ekspor masih jauh lebih besar.
Untuk membantu mengatasi sektor pertambangan yang masih terpuruk, pemerintah tidak perlu mengeluarkan kebijakan yang justru memberatkan pelaku usaha pertambangan. Misalnya rencana pengenaan bea keluar ekspor dan penaikkan royalti batu bara.
Pemerintah juga perlu mempercepat realisasi pembangunan pembangkit listrik. Melalui Perpres No. 4/2016 tentang Infrastruktur Ketenagalistrikan, diharapkan proyek pembangkit cepat terealisasi. Produsen batu bara juga perlu melakukan diversifikasi usaha misalnya masuk ke pembangkit dan sektor lainnya.
Selain itu, revisi UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara perlu dipercepat. Terutama soal kepastian mineral yang boleh diekspor, kepastian perpanjangan izin usaha pertambangan, dan strategi untuk mengatasi tren penurunan PNBP dari sektor pertambangan. ()