Bisnis.com, JAKARTA- Meksipun indeks kepercayaan bisnis pada 2015 mengalami penurunan tajam, pelaku usaha asal Eropa masih menganggap Indonesia sebagai lokasi tujuan investasi yang menggiurkan dengan catatan pemerintah menyeriusi implementasi deregulasi kebijakan yang telah digelontorkan.
Dalam presentasi survei kepercayaan bisnis Rabu (3/2), Adrian Short, Chairman British Chamber (Bricham) mengatakan indeks kepercayaan bisnis para pelaku usaha asal Eropa terhadap Indonesia pada 2015 menurun menjadi 50% dibandingkan tahun sebelumnya yakni 71%.
Indeks tersebut didasari oleh beberapa indikator makro ekonomi yakni pertumbuhan Gross Domestic Product yang anjlok dari 5% pada 2014 menjadi 4,7% setahun sebelumnya, setelah pada 2013 mencapai pertumbuhan 5,6%.
“Selain itu ada juga indeks kepercayaan konsumen yang turut dari 123 pada 2014 menjadi 120 setahun berikutnya, serta volume ekspor dan impor yang anjlok tahun lalu yakni hanya mencapai US$12,1 miliar untuk impor dan ekspor US$12,8 miliar,” terangnya.
Indikaor lain, katanya berupa kenaikan rata-rata indeks harga kebutuhan seperti makanan menjadi 137, minuman mencapai 119 dan kebutuhan pribadi mencpaai 129.
Hal-hal tersebut, katanya menyebabkan iklim bisnis di Indonesia pada 2015 turun dari 60% pada 2014 menjadi hanya 35% pada 2015. Rontoknya iklim bisnis itu dipengaruhi oleh tren penurunan pada sejumlah aspek seperti kebijakan fiskal yang turun sebanyak 13%, politik yang turun 29%, dan aspek hukum yang jatuh 9% serta kebijakan ketenagakerjaan yang tergelincir 3%.
Para pelaku usaha juga menilai ada beberapa hambatan yang mengalami pelebaran kesenjangan secara signifikan pada 2015 yakni kesenjangan tenaga kerja berskil turun 17%, kesenjangan infrastruktur turun 21%, korupsi yang kesenjangannya makin parah yakni sebesar 17% serta stabilitas sosial politik yang meakin melebar sebesar 14%.
Walau pada 2015 para pelaku melihat ada banyak penurunan dalam berbisnis di Indonesia, mereka melihat Indonesia masih mempertimbangkan Indonesia sebagai tujuan investasi tahun ini. Dalam survei tersebut, 50% responden menilai perkembangan bisnis di negeri ini akan positif berbanding 13% yang menilai negatif dan 34% yang menyatakan netral.
“Mayoritas responden yakni 46% juga menilai dalam dua tahun mendatang ada banyak investasi besar yang masuk ke Indonesia, 35% menyatakan tidak dan 19% mengatakan bisa saja terjadi,” tambahnya.
BUTUH IMPLEMENTASI
Tahun ini, lanjutnya, para pelaku usaha menilai ada lima sektor bisnis yang akan tumbuh positif yakni infrastruktur dan konstruksi sebesar 71%, pariwisata 60%, makanan dan minuman 54%, retail 52% serta sektor agribisnis 43%. Sektor infrastruktur menempati posisi pertama karena tahun ini Pemerintah Indonesia dinilai akan menggencarkan berbagai proyek infrastruktur yang akan diikuti oleh sektor partikelir.
Selain sektor-sektor di atas, lebih dari separuh para pelaku bisnis asal Eropa yang menjadi responden meyakini pendapatan dan profit akan meningkat sepanjang tahun ini. Sementara wilayah Sulawesi dianggap menjadi tujuan favorit ekspansi bisnis di luar Jabodetabek diikuti Sumatra, serta Kalimantan.
Meski hasil survei yang dilaksnaakan terhadap 170 responden dan dilakukan pada 19 November 2015 hingga 11 Januari 2016 menyatakan Indonesia masih merupakan tujuan investasi yang cukup molek, Pemerintah Indonesia tidak boleh terlena.
Hal ini dikarenakan para pelaku menilai meskipun pemerintahan yang dipimpin Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah menunjukkan komitmen dalam melakukan dialog atau konsultasi dengan para pebisnis serta meningkatkan koordinasi antarkementerian, mereka masih membuthkan aksi nyata untuk mengimplementasikan berbagai deregulasi kebijakan ekonomi.
“Dalam survei, konsultasi dengan pebisnis secara komitmen mencapai 59% tapi dalam implementasinya cuma 42% responden yang menilai ada aksi nyata. Koordinasi antarkementerian hanya 36% yang menilai sudah jalan, tapi 43% menilai hanya pada tataran sikap semata,” urainya.
Atas dasar itulah, 48% pebisnis Eropa juga menilai berbagai sembilan paket kebijakan yang telah digelontorkan oleh pemerintah belum tentu akan merubah iklim bisnis di Tanah Air. Sisanya, 14% menyatakan tidak akan ada perubahan dan 38% meyakini akan ada perubahan yang luar besar.
“Kami juga menanyakan apakah paket kebijakan akan diterapkan dengan tepat dan ternyata 58% menyatkaan belum tentu, 16% mengatakan tidak, dan 26% mengaku yakin,” ungkapnya.
Kebijakan yang dilahirkan oleh Bank Indonesia yakni penggunaan mata uang rupiah dalam seluruh transaksi di dalam negeri juga dinilai oleh apra pelaku usaha justru memberikan dampak yang negatif (57%), sementara 35% menyatakan netral dan 8% mengaku hal itu berdampak positif.
Para usahawan asal Eropa juga menilai kamar dagang asal benua itu yang sudah lama berdiri di Indonesia memiliki peran yang positif dalam mendukung bisnis karena itu keterlibatan berbagai organisasi itu harus selalu didorong di masa depan.
Duta Besar Ingrris Raya untuk Indonesia Moazzam Malik mengatakan ada dua hal yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk mendoorng pertumbuhan bisnis ke arah yang lebih positif yakni pertama menetapkan target kemudahan berusaha.
“Tahun lalu sudah meningkat dari 114 menjadi 109 tapi setelah itu apa. Apakah mau capai 100,75, atau 50. Harus ditetapkan target dan diikuti dengang langkah-langkah yang jelas untuk mencapai target itu. Negara-negara di Asean telah menerapkan hal itu,” ujarnya.
Dia juga menilai pemerintah harus meningkatkan konsultasi publik dengan berbagai pemangku kepentingan seperti pelaku usaha dan konsumen.