Bisnis.com, JAKARTA—Indonesia Properti Watch memetakan sejumlah kendala yang harus segera diatasi pemerintah bila ingin merealisasikan program sejuta rumah bagi masyarakat.
CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda menilai program sejuta rumah yang saat ini sudah memasuki tahun kedua masih belum optimal karena sejumlah kendala yang ada masih belum teratasi sepenuhnya.
Ali mengatakan, program sejuta rumah masih belum memperlihatkan peran pemerintah dalam menyediakan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Porsi pemerintah dalam program sejuta rumah hanya sekitar 16,4%, sementara sisanya diserahkan kepada swasta.
Strategi arah pembangunan program sejuta rumah menurutnya masih belum terlihat jelas. Hal tersebut menyebabkan masing-masing pemangku kepentingan berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah menurutnya perlu membuat grand strategy dan rencana target yang lebih detail untuk masing-masing wilayah.
Selain itu, faktor krusial utama yakni ketersediaan lahan pun belum benar-benar disiapkan pemerintah. Harga tanah yang semakin tinggi akan menyulitkan pengembang untuk memperoleh lahan murah bagi hunian MBR, sementara pemerintah belum memiliki instrumen untuk mengendalikan harga tanah.
“Tanah-tanah di sebagian lokasi yang akan dilalui infrastruktur cenderung akan meningkat dan pemerintah seharusnya dapat mengamankan harga tanah tersebut melalui pengadaan atau instrumen lain agar ketersediaan lahan untuk program sejuta rumah dapat terpenuhi,” katanya dalam publikasi IPW yang dikutip Bisnis, Jumat 29/1/2016).
Digabungnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat seharusnya memudahkan pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan harga tanah terkait rencana pembangunan infrastruktur.
Menurutnya, Kementerian PUPR harus melakukan koordinasi dengan pemda melalui Kementerian Dalam Negeri untuk segera merealisasikan tata ruang yang jelas bagi pengembangan hunian MBR. Tata ruang yang jelas akan memudahkan perencanaan penyediaan infrastruktur dan kerjasama bersama pengembang swasta untuk pembangunan hunian.
Dengan adanya strategi pengembangan dan rencana tata ruang yang jelas dari pemerintah, seharusnya akan memudahkan koordinasi dengan pengembang swasta dalam pemenuhan kewajiban hunian berimbang. Bila pemenuhan kewajiban dalam satu kawasan tidak dapat dipenuhi, pemerintah dapat menawarkan lokasi yang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Selain itu, regulasi yang diberikan pemerintah terkait insentif pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi rumah susun sederhana, menurutnya masih menyulitkan pengembang. Aturan tersebut memberikan batas luas rusun bebas PPN yakni antara 21 m2 hingga 36 m2 dengan harga maksimal Rp250 juta.
Menurutnya, dengan perkembangan yang ada saat ini, pengembang sulit untuk membuat rusuna tipe 21 m2 dengan standar harga yang ada. Pergerakan pasar memperlihatkan masih mungkin untuk pembangunan rusuna di bawah tipe 21 m2.
“Selain itu juga, pemerintah masih harus memberikan definisi yang lebih tegas mengenai luas tipe untuk membedakan antara gross area, semi gross , atau net area,” katanya.
Ali juga menyoroti soal belum adanya sinkronisasi antara Kementerian ESDM dan Kementerian PUPR terkait kategori rumah MBR yang seharusnya memperoleh subsidi untuk listrik 900 W. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pihak PLN hanya mau memasok listrik 1.300 W untuk perumahan-perumahan yang ikut program sejuta rumah.
Rencana Tapera pun menurutnya masih membebani para pengusaha. Untuk itu, perlu dibuat alternatif pembiayaan dengan meningkatkan peran BPJS sebagai salah satu sumber pembiayaan perumahan. Salah satu alternatif dapat dengan membentuk BPJS Papan