Bisnis.com, PEKANBARU--Pemerintah harus mengakomodasi kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat dalam menerapkan kebijakan restorasi lahan gambut agar tidak timbul persoalan baru seperti kemiskinan dan masalah sosial lainnya.
Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Sabiham mengatakan agar kebijakan itu bisa diterapkan, pemerintah harus mandiri dan tidak tergantung kepada hibah asing.
Kebutuhan dana untuk restorasi lahan gambut sekitar US$1 miliar seharusnya bisa ditalangi oleh industri kelapa sawit , industri hutan tanaman industri (HTI) serta industri lain yang selama ini memanfaatkan lahan gambut itu yang tersebar di Sumatra, Kalimantan dan Papua.
Menurutnya, bantuan asing justru harus dihindari agar Indonesia tidak terus didikte kepentingan pihak manapun.
“Bantuan asing hanya akan merusak citra Indonesia sebagai bangsa yang tidak bertanggung jawab di mata internasional,” ujarnya (26/1).
Supiandi berpendapat, dalam beberapa kasus, pengelolaan gambut lestari yang diterapkan industri di Indonesia kerap menjadi rujukan oleh pakar gambut dunia. Sayangnya, kegiatan positif ini kurang disosialisasikan. Padahal cukup banyak perusahaan di Indonesia yang mengelola konsesinya secara lestari.
Pengamat lingkungan dan kehutanan Ricky Avenzora mengatakan perusahaan perkebunan serta kehutanan sudah sejak lama merestorasi kawasan-kawasan hutan yang rusak dan terbengkalai. Kawasan terbengkalai yang dulu tidak diperhatikan dan kini telah berhasil diubah serta menghasilkan triliunan rupiah devisa negara bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat ini, lebih dari 6 juta jiwa menggantungkan hidup dari industri sawit.
Ricky berpendapat, pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) adalah wujud kegagalan bersama dalam menjalankan semangat revolusi mental di sektor kehutanan dan lingkungan. Pemerintah punya peran dalam kegagalan itu. Salah satunya merevolusi mental untuk belajar secara cepat tentang masalah kehutanan dan konservasi alam serta restorasi gambut di Indonesia.
“Pemerintah juga gagal untuk memberantas para mafia konspirasi ekonomi global beserta para mafia donor dan LSM hipokrit yang mengkhianati bangsa sendiri melalui isu lingkungan. “
Ricky juga menilai akademisi telah gagal dalam mengubah pola sikap mereka dari pasif menjadi pro aktif dalam menyuarakan objektivitas keilmuan secara lantang guna memberi peringatan tentang bahaya suatu kebijakan.