Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dewan Kakao Indonesia Sebut BK Kakao Sudah tak Bermanfaat

Dewan Kakao Indonesia Sebut BK Kakao Sudah tak Bermanfaat

Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Dewan Kakao Indoensia Soetanto Abdullah mengatakan hampir semua biji kakao tidak diekspor lagi. Sehingga penerapan BK sudah tidak lagi diperlukan, apalagi dinaikkan. Mengubah BK menjadi 15% flat seperti usulan AIKI, menurutnya justru akan semakin menurunkan pendapatan petani.

Soetanto menggambarkan, jika BK dinaikkan menjadi 15% flat, dan jika harga kakao jatuh di bawah US$2.000/ton maka keuntungan pada petani tidak akan lebih dari Rp1.000/kg. Akibatnya petani akan semakin lari dan tidak akan mau menanam kakao lagi. Oleh sebab itu Soetanto menilai seharusnya BK kakao dihapus.

“Saya kira begitu (dihapus) atau minimal seperti sekarang,” kata Soetanto kepada Bisnis, Senin (11/1/2016).

Seotanto mengakui pada awalnya, penerapan BK memiliki sisi positif yaitu mendorong industri untuk membuat pabrik di dalam negeri. Sehingga permintaan biji kakao di dalam negeri ikut melonjak. Hal itu membuat para produsen berusaha mendapatkan biji kakao secara langsung dari para petani. Kontak pabrik dengan petani yang semakin intensif membuat petani seolah dimanja.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang meminta pemerintah untuk segera menghapus pajak ekspor dan PPN kakao sebagai salah satu langkah untuk mendorong produktifitas petani kakao.

Zulhefi mengatakan kebijakan pemerintah melalui adanya pajak ekspor kakao dan PPN 10% menyebabkan monopoli pembelian berada di satu sektor saja, yaitu pabrik pengolahan. Padahal sebelum kebijakan yang diambil pada 2010 tersebut, pembeli biji kakao adalah para eksportir, di samping pabrik kakao. Adanya kompetisi di sektor pembelian tersebut membuat petani dapat membandingkan mana harga terbaik dari industri maupun dari eksportirnya.

“Saat ini karena pembelinya di satu pihak saja. Eksportir sudah mati karena kebijakan pajak ekspor, industri pengolahan ini membebankan pajak ekspor dan ppn kepada petani. Menurut kami ini kebijakan yang keliru,” kata Zulhefi.

Menurunya, saat ini pendapatan petani sudah cukup rendah karena produktifitas yang rendah dan kemungkinan harga komoditas kakao yang akan mengalami koreksi pada tahun ini setelah dua tahun berturut-turut berada di posisi yang tinggi.

Untuk meningkatkan pendapatan petani, maka pemerintah harus segera mengevaluasi kebiajakan pajak ekspor dan PPN tersebut. Pemerintah harus mengembalikan pajak ekspor dan PPN kembali nol supaya industri tidak membebankan biaya tersebut kepada petani.

Harga petani kakao yang tadinya hanya dipotong sebesar US$350/ton dari harga bursa New York, saat ini pemotongan di level petani menjadi US$750/ton karena adanya pajak ekspor dan PPN tersebut. Akibatnya petani tidak diuntungkan dengan tingginya harga komoditas tersebut selama dua tahun terakhir.

Jika hal tersebut terus berlanjut, maka sangat kuat kemungkinan para petani kakao akan mengalihkan produksinya ke komoditas lain. Sehingga produktifitas akan semakin menurun. Zulhefi memperkirakan produksi kakao pada tahun ini akan berada di bawah 300.000 ton.

Padahal selama lima tahun terakhir produksi kakao menurun cukup besar. Pada 2010, produksi komoditas tersebut yang mencapai 600.000 ton turun drastic menjadi hanya 350.000 ton. Sementara luas lahan yang tadinya mencapai 1,5 juta hektar saat ini mencapai 1,2 juta hektar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper