Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah mempertimbangkan kerjasama dengan kalangan pengembang swasta untuk membangun hunian murah bagi masyarakat berpenghasiln rendah dengan memanfaatan lahan negara guna mengatasi backlog perumahan saat ini.
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Syarif Burhanudin mengatakan, kebijakan hunian berimbang yang ditetapkan pemerintah menuntut pengembang untuk berkontribusi dalam penyediaan hunian bagi MBR.
Meski demikian, dirinya mengakui tuntutan tersebut tidak mudah diterima oleh kalangan pengembang. Masih banyak pengembang di daerah yang tidak mengindahkan ketentuan hunian berimbang, apalagi bila pemerintah daerah kurang tegas dalam menegakkan peraturan tersebut.
Untuk itu, menurutnya pemerintah berupaya untuk mencari skema baru yang memungkinkan kemudahan bagi pengembang, sambil tetap berupaya membenahi regulasi agar ketentuan hunian berimbang benar-benar terimplementasikan.
Salah satu terobosan yang tengah dipertimbangkan menurutnya adalah pemanfaatan aset lahan negara untuk pembangunan rumah murah oleh kalangan swasta. Saat ini, belum ada aturan pendukung yang memungkinkan swasta membangun hunian di atas lahan negara.
“Itu terobosan yang akan kita lakukan, cuma sekarang lagi kita bahas karena tidak semudah itu tanah pemerintah diberikan kepada swasta,” katanya kepada Bisnis.com saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (7/1/2016).
Sebelumnya, pemerintah telah merilis PP 83/2015 sebagai perubahan atas PP 15/2004 tentang Perum Perumnas. Fungsi Perumnas kini diperkuat dan difokuskan pada segmen MBR. Pemerintah pusat maupun daerah dapat melakukan penunjukkan langsung kepada Perumnas untuk pembangunan hunian murah.
Syarif mengatakan, untuk sementara, pembangunan perumahan di atas aset lahan negara hanya dimungkinkan melalui penugasan kepada Perumnas karena didukung aturan tersebut, sedangkan kepada swasta belum diatur.
“Ini masih dicarikan skim-nya, sudah mulai kami diskusikan di tingkat pemerintahan. Tetapi saya kira idealnya tanah pemerintah yang idle itu bisa saja dikerjasamakan dengan swasta sepanjang itu untuk MBR, tinggal aturannya saja disiapkan,” katanya.
Saat ini, Kementerian PUPR juga sudah menerima aset lahan seluas 389 hektar dari Kementerian Keuangan untuk dibangun rumah murah. Menurutnya, hunian vertikal akan menjadi prioritas untuk dibangun di atas aset tersebut.
Ketentuan hunian berimbang menyebutkan pengembang wajib membangun rumah tapak dengan proporsi 1:2:3. Artinya, tiap pembangunan satu unit rumah mewah harus disertai dengan pembangunan dua unit rumah menengah dan tiga unit rumah sederhana di hamparan yang sama, atau di kabupaten/kota yang sama.
Selain itu, untuk rumah susun, pengembang wajib membangun rusun murah seluas 20% dari total lantai rusun komersial yang dibangun.
Sejumlah pihak dari kalangan pengembang sebelumnya sempat mempertanyakan kebijakan tersebut. Mereka pun berharap agar program hunian berimbang dilakukan secara kolektif di satu lokasi yang disediakan pemerintah dalam satu provinsi. Pasalnya, kalangan pengembang kesulitan bila diwajibkan mencari lahan murah sendiri untuk pembangunan hunian murah.
Ketua Housing Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto mengatakan, kebijakan hunian berimbang sulit direalisasikan karena kalangan pemda pun bingung dalam mengaplikasikannya. Lagi pula, menurutnya, analisis matematis trehadap proporsi 1:2:3 dalam satu hamparan pun kurang mendasar.
Menurutnya, penyelenggaraan hunian berimbang merupakan semangat kebersamaan, kerjasama, kemitraan antara seluruh stakeholder, bukan hanya kewajiban pengembang. Sebagai salah satu solusi, menurutnya, pemerintah dapat menyediakan satu area khusus dalam satu provinsi sebagai lokasi pengembangan hunian murah yang menjadi tanggung jawab developer secara kolektif.
“Pada wilayah tersebut, pemerintah pun perlu memberi dukungan aksesibilitas transportasi dan kelengkapan infrastruktur,” katanya.
Ketua DPD Realestate Indonesia (REI) DKI Jakarta Amran Nukman juga berpendapat bahwa hunian berimbang bisa terlaksana bila pemerintah menyediakan lokasi khusus dalam satu kota. Dirinya mencontohkan kebijakan Pemda DKI Jakarta yang mengumpulkan 18 pengembang dengan lokasi proyek berbeda untuk membangun rusun di Pulo Gebang, Jakarta Timur.
“Kewajiban (hunian berimbang) para pengembang dikumpulkan dengan koordinasi pemda, kemudian (kewajiban) itu dialokasikan ke lahan-lahan yang memungkinkan. Jadi, tidak harus di area yang sama dengan proyek masing-masing developer,” katanya.
Senada, Ketua DPD REI Banten Solaeman Soemawinata mengatakan, sebaiknya antar developer di satu provinsi dapat saling bersinergi melakukan pengembangan hunian murah dalam lokasi yang disediakan pemerintah.
Jadi, pelaksanaan hunian berimbang tidak dilakukan dalam satu hamparan antara hunian komersial dan hunian MBR.