Bisnis.com, JAKARTA — Tim ekonomi Indef menilai agenda nawacita pemerintah yang bersentuhan langsung dengan aspek ekonomi masih jauh dari harapan. Tim peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat setidaknya ada 11 poin yang sangat krusial dan harus mendapatkan perhatian oleh pemerintah.
“Selama satu tahun bukannya mengarah pada pencapaian target [Nawacita] dalam 5 tahun, tapi berbalik,” kata Ekonom Indef Enny Sri Hartati di Jakarta, Rabu (30/12/2015).
Berikut ini adalah catatan kinerja ekonomi pemerintahan Presiden Joko Widodo - Jusuf Kalla.
- Laju utang pemerintah yang semakin mengkhawatirkan. Sepanjang Januari 2015 – November 2015 utang, pemerintah bertambah Rp466,04 triliun. Jumlah tersebut naik 17,86% jika dibandingkan dengan posisi pada tahun sebelumnya. Kondisi ini berbanding terbalik dari yang ditargetkan oleh pemerintah dalam dokumen Nawacita yang menginginkan tren utang terus mengalami penurunan.
- Realisasi penerimaan perpajakan yang mengalami short-fall– selisih antara realisasi dengan target. Indef mencatat realisasi penerimaan perpajakan sampai akhir November 2015 baru mencapai 68,2% atau sebesar Rp1.015,6 triliun. Realisasi itu jauh merosot jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang dapat mencapai 80,2% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2014 sebesar Rp1.246,1 triliun.
- Realisasi keuangan pemerintah daerah rendah. Indef menilai pengelolaan keuangan daerah masih belum naik. Dana daerah yang mengendap di perbankan hingga September 2015 sekitar Rp291,5 triliun. Jumlah itu menunjukan masih rendahnya penyerapan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Penyebabnya di antaranya perubahan nomenklatur anggaran, pergantian pejabat di daerah, birokrasi yang rumit serta persyaratan administrasi.
- Dana desa yang diharapkan menjadi penyokong program nawacita pemerintah, juga tidak optimal. Hal ini dapat terlihat dari masih ada sekitar 117 kabupaten/kota dari 508 kabupaten/kota yang belum menyerahkan laporan penyaluran dana desa tahap satu dan dua per 18 Desember 2015.
- Penyertaan modal negara (PMN) melonjak hingga mencapai Rp63,1 triliun atau meningkat 850%. Menurut Indef, fokus utama PMN adalah program infrastruktur dan konektivitas yang mencapai sekitar Rp38,4 triliun dari total PMN BUMN. Besarnya proporsi PMN infrastruktur diharapkan dapat memberikan efek berganda kepada perekonomian. Namun, pada kenyataannya, “Total penyerapan PMN hingga akhir tahun hanya Rp22,83 triliun. Bahkan, penyerapan PMN BUMN hanya 22,31% dari total yang dianggarkan,” kata peneliti Indef Eko Listiyanto.
- Terkait dengan paradoks suku bunga tinggi dan inflasi, Indef menilai suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate mencapai 7,50% yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga acuan di negara lain. Tingginya suku bunga acuan membuat bunga bank tinggi. Hal ini menyebabkan ekonomi tidak mengalami pergerakan lantaran banyak pihak yang lebih senang menyimpan uangnya di bank. Oleh karena itu, pelonggaran kebijakan perlu dilakukan.
- Bias arah nilai tukar rupiah
- Menyusutnya kontribusi sektor industri bagi pertumbuhan ekonomi
- Kinerja ekspor yang tidak mampu terangkat meskipun rupiah mengalami depresiasi, daya saing yang tidak bergeming.
- Program sejuta rumah tanpa arah.
- Ketimpangan, kemiskinan, dan pengangguran yang semakin memburuk karena tidak meratanya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat.