Bisnis.com, JAKARTA - Sehari sebelum tahun anggaran 2015 ditutup, realisasi penerimaan pajak (plus PPh migas) baru menca-pai 77,97% atau Rp1.009,07 triliun dari target Rp1.294,2 triliun.
Merujuk pada data Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, komponen pajak pertambahan nilai (PPN) masih menjadi penekan terberat karena baru mengumpulkan 69,15% atau Rp398,60 triliun dari target, sedangkan pajak penghasilan (PPh) nonmigas yang menjadi tanggung jawab DJP Kemenkeu masih Rp517,76 triliun atau 83,29% dari target.
Adapun, satu komponen yang terekam melampaui target adalah PPh migas, yakni 101,04% setara Rp50,05 triliun yang justru bukan menjadi DJP Kemenkeu.
Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, dalam suatu siaran televisi swasta, menyatakan Otoritas Fiskal kembali merevisi tar-get penerimaan paling realis-tis yang bisa dicapai hingga tutup tahun anggaran 2015, dari Rp1.100 triliun pada pekan awal Desember 2015 menjadi Rp1.050–Rp1.080 triliun.
Dengan demikian, hanya dalam hari ini, Kamis (31/12/2015), pemerintah harus mampu meraup penerimaan pajak sebesar Rp41 triliun-Rp71 triliun, sehingga realisasi penerimaan pajak menyentuh level 81%–83%.
Posisi penerimaan per 1 Desember baru mencapai kurang lebih Rp875 triliun atau 67,6% dari target, hanya tumbuh Rp100,5 triliun setara 12,97% dari posisi per awal November sebesar Rp774,5 triliun.
Sekitar 5 bulan lalu (Bisnis, 7/8), telah memproyeksikan short-fall pajak untuk keseluruhan tahun menembus Rp274 triliun atau meleset 22% dari target, atau terpaut tipis dari prediksi Bank Dunia pada Maret tahun ini, yang menunjukkan potensi shortfall sampai Rp282 triliun.
Dari perhitungan Bisnis.com, level penerimaan pajak 81%–83% bisa menyeret defisit anggaran ke level minimal 2,86%, karena penerimaan negara secara total menurut estimasi adalah sebesar Rp1.504,1 triliun.
Sementara itu, sisi belanja negara diperkirakan mencapai 92,2% atau sekitar Rp1.829,7 triliun dari target. Pasalnya, shortfall juga diproyeksikan mendera komponen penerimaan negara yang lain seperti bea dan cukai sebesar Rp16,2 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp27,3 triliun.
TIGA INSTRUMEN
Dalam wawancara sebelumnya, Menkeu mengatakan Rp100 triliun masih mampu dicapai dalam sepekan dengan menggunakan tiga instrumen, yakni komponen PPN, pemeriksaan dan reinventing policy serta revaluasi aset.
“Dari Rp100 triliun itu, sekitar Rp30 triliunan berasal dari PPN belum masuk, Rp70 triliun adalah kombinasi dari pemeriksaan yang intensif dilakukan. Kedua, imbauan ke konglomerasi dan reinventing policy. Satu lagi, revaluasi,” kata Bambang kepada Bisnis.com.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara pada pertengahan bulan ini mengisyaratkan pemerintah telah mempersiapkan skenario terburuk dari pelebaran defisit akibat pembengkakan shortfall pajak.
Sesuai dengan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, defisit anggaran total diizinkan mencapai 3% terhadap PDB. Dari batas tersebut, pada tahun-tahun yang lalu Kementerian Keuangan menyediakan 0,3% untuk pemerintah daerah, sehingga pemerintah pusat memiliki ruang defisit 2,7%.
Dia menuturkan, pemerintah pusat bisa saja menggunakan maksimal 0,2% dari defisit yang diperuntukkan untuk pemda sehingga defisit pemerintah pusat menjadi 2,9%.