Bisnis.com JAKARTA – International Energy Agency (IEA) memprediksi komoditas batu bara masih akan memperoleh tekanan hingga 2020 seiring dengan anjloknya permintaan dari Tiongkok.
Dalam pagelaran Singapore Energy Market Authority yang dilangsungkan Jumat (18/12/2015), Executive Director IEA Fatih Birol mengatakan industri batu bara saat ini memang tengah mengalami tekanan hebat dan alasan utamanya adalah Tiongkok.
“Tetapi, itu bukanlah satu-satunya alasan. Transformasi ekonomi di Tiongkok dan juga aturan lingkungan global, termasuk kesepakatan iklim di Paris, tampaknya akan menjadi kendala untuk permintaan batu bara global,” katanya dalam keterangan resminya yang dikutip Bisnis.com, Sabtu (19/12/2015).
Dalam risalahnya, IEA mencatat permintaan batu bara Tiongkok turun seiring dengan melambatnya perlambatan ekonomi yang terjadi. Selain itu, pemanfaatan energi baru dan terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), pembangkit listriki tenaga angin (PLTB) serta pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di negara itu turut menyumbang penurunan permintaan batu bara.
Pembangunan sejumlah pembangkit energi baru terbarukan tersebut, tidak hanya digunakan untuk meningkatkan ketahanan energi, tetapi juga sebagai upaya untuk menurunkan tingkat polusi udara di Negeri Tirai Bambu.
IEA memprediksi dalam skenario batu bara teroptimis (peak coal skenario), permintaan batu bara Tiongkok pada 2020 akan berada di level 9,8% di bawah angka realisasi 2013. Selain itu, permintaan pada 2020 juga akan turun lebih dari 300 juta ton batu coal ekuivalen (million tons of coal equivalent/Mtce) dibandingkan prediksi awal yang mencapai 2.950 Mtce.
Di saat bersamaan, permintaan batu bara global dalam skenario itu akan turun di kisaran 5.000 Mtce pada 2020 atau turun 0,1% setiap tahun secara rata-rata. Padahal, sebelumnya diprediksi akan ada penaikan permintaan sebanyak 0,8% per tahun.
Pada tahun tersebut, India diprediksi akan mengambil alih Tiongkok sebagai importir batu bara terbesar dunia. Meskipun, sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara juga diperkirakan akan meningkatkan konsumsi batu baranya.
Sejumlah negara tersebut adalah Indonesia, Vietnam, Malaysia dan Filipina yang tengah berencana menambah jumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Sayangnya, IEA mencatat sekitar separuh dari PLTU anyar itu masih menggunakan teknologi yang dinilai tidak efisien.
“Pemerintah dan industri harus meningkatkan fokus pada teknologi jika mereka serius terhadap climate goal,” tegasnya.
Menurutnya, Carbon Capture and Storage bukanlah hanya sekedar teknologi batu bara atau teknologi untuk pembangkit. Namun, teknologi ini akan mengurangi emisi sehingga diperlukan untuk diterapkan secara massal untuk mencapai tingkat karbon yang rendah di masa mendatang.