Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat meminta pemerintah daerah bersikap tegas dalam menerbitkan izin mendirikan bangunan atau IMB, agar konsep hunian berimbang bisa berjalan.
Kebijakan tersebut menyatakan pengembang wajib membangun rumah tapak dengan proporsi 1:2:3, dimana pembangunan 1 unit rumah mewah harus diiringi dengan pengembangan 2 unit rumah menengah, dan 3 unit rumah sederhana dalam 1 hamparan.
Selain itu, developer juga memiliki kewajiban membangun rumah susun seluas 20% dari luas total lantai rusun komersial yang dibangun.
Untuk mendorong realisasi pembangunan satu juta rumah per tahun, pemerintah melakukan deregulasi 10 peraturan yang dinilai menghambat program. Salah satu peraturan di dalamnya ialah Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Perumahan Rakyat nomor 7 tahun 2013 tentang hunian berimbang yang akan ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP).
Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin menyampaikan tujuan pembuatan PP agar Pemerintah Daerah bisa segera menuangkan beleid tersebut dalam bentuk peraturan daerah (Perda) dan menjadi acuan dalam mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Pasalnya, selama ini pengaplikasian aturan mengenai hunian berimbang kurang terlaksana akibat belum adanya kontrol Pemda dalam bentuk Perda. “Kunci keberhasilan pelaksanaan aturan tentang kawasan hunian berimbang adalah dari IMB yang dikeluarkan oleh Pemda setempat,” ujarnya melalui siaran pers, Senin (7/12/2015).
Menurut Syarif, pengembang biasanya telah menyusun masterplan sebelum mengajukan IMB. Bila Pemda bisa lebih tegas dan melihat apakah perencanaan tata ruang proyek memenuhi aturan hunian berimbang, tentunya pembangunan perumahan tidak akan terfokus pada segmen menengah dan mewah.
Pemda pun memiliki kewenangan untuk tidak mengeluarkan IMB apabila masterplan yang diajukan oleh pengembang tidak memperlihatkan adanya kawasan hunian berimbang.
“Monitoring dan evaluasi tentang pelaksanaan kawasan hunian berimbang ada di Pemda. Jika masterplan yang diajukan oleh pengembang tidak memenuhi aturan ini, maka IMB nya jangan dikeluarkan,” tandasnya.
Ketua Housing Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto mengatakan peraturan hunian berimbang sulit terlaksana karena pemerintah daerah bingung dalam mengaplikasikan dasar hukum sesuai Permen terkait. Lagipula, analisis matematis dimana pengembang wajib membangun rumah tapak dengan proporsi 1:2:3 dalam satu hamparan kurang mendasar.
Dia pun mengingatkan bahwa penyelenggaraan hunian berimbang merupakan semangat kebersamaan, kerja sama, kemitraan antara seluruh stake holder, bukan hanya kewajiban yang harus dilakukan pengembang.
Sebagai salah satu solusi, lanjutnya, pemerintah dapat menyediakan satu area khusus dalam satu provinsi sebagai lokasi pengembangan hunian murah yang menjadi tanggung jawab developer secara kolektif.
Ketua DPD Realestate Indonesia (REI) DKI Jakarta Amran Nukman berpendapat hunian berimbang bisa terlaksana bila pemerintah menyediakan lokasi khusus dalam satu kota. Salah satu program hunian berimbang yang berhasil dilaksanakan, sambungnya, seperti ketika Gubernur DKI Jakarta mengumpulkan 18 pengembang dengan lokasi proyek berbeda untuk membangun rusun di Pulo Gebang, Jakarta Timur.