Bisnis.com, JAKARTA -- Indonesia diharapkan dapat belajar dari Mesir dan Rusia yang belum lama ini menandatangani MoU kerja sama pembangunan dan operasional empat unit PLTN yang masing-masing berkapasitas 1.200 MW.
Nota kesepahaman mengenai Pengawasan Lingkungan dan Teknologi Nuklir dan Badan Regulasi Keamanan Nuklir dan Radiologi tersebut juga telah ditandatangani untuk memfasilitasi pembangunan infrastruktur nuklir di Mesir.
MoU tersebut ditandatangani Menteri Listrik dan Energi Mesir Mohamed Shaker dan Direktur Utama Rosatom, BUMN Nuklir asal Rusia, Sergey Kirienko, disaksikan oleh Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi.
Di dalam dokumen, secara spesifik dijelaskan perihal persediaan bahan bakar nuklir untuk masa depan PLTN, kewajiban yang perlu dilangsungkan dalam operasionalnya, pemeliharaan, dan perbaikan unit PLTN.
Proyek PLTN di Dabaa, Mesir, akan menjadi proyek kerja sama terbesar antara Rusia dan Mesir semenjak proyek bendungan di Aswan.
"Hal ini sungguh merupakan lembaran baru dalam sejarah hubungan kenegaraan Rusia-Mesir," tutur Direktur Umum Rosatom Sergey Kirienko dalam siaran pers, Selasa (8/12/2015).
Dia menambahkan, PLTN pertama tersebut akan menjadikan Mesir terdepan dalam hal energi jika dibandingkan dengan wilayah sekitarnya serta menjadikan Mesir satu-satunya negara dengan PLTN berteknologi 3+ Gen di wilayahnya.
Saat ini semakin banyak negara yang melihat potensi nuklir sebagai sumber energi alternatif mengingat semakin menipisnya energi fosil dan konsumsi energi masyarakat yang terus meningkat.
Terkait dengan pembangunan PLTN di Mesir ini, Kepala Komisi Teknis Dewan Riset Nasional, Arnold Soetrisnanto mengatakan Indonesia seharusnya mantap untuk mengembangkan nuklir sebagai salah satu sumber energi.
"Afrika Utara telah mengambil langkah yang signifikan menuju ketahanan dan keberlangsungan energi," ujarnya.
Dia berpendapat bahwa kesungguhan politik Mesir untuk membangun PLTN pertamanya bisa menjadi contoh bagi Indonesia, yang hingga kini masih ragu dan menunggu keputusan go nuclear dari Presiden Joko Widodo, meskipun sebenarnya Indonesia lebih maju dalam hal persiapan pembangunan infrastruktur dan konstruksi nuklir.
"Pilihan untuk memakai teknologi Rusia sudah jelas, negara ini unggul dalam hal teknologi nuklir dan sekaligus memberikan solusi pembiayaan yang menarik," kata Arnold yang juga anggota Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI).
Dari sisi teknologi, Profesor Zaki Suud dari Divisi Nuklir dan Biofisika, Institut Teknologi Bandung (ITB) menyatakan bahwa teknologi generasi 3+ memiliki keamanan yang modern.
Reaktor baru di Mesir akan menggunakan teknologi generasi 3+, yang berarti PLTN tersebut akan dilengkapi dengan sistem keamanan modern dan memenuhi semua persyaratan keselamatan setelah insiden Fukushima.
Dia menjelaskan reaktor semacam ini mampu bertahan menghadapi berbagai bencana alam, termasuk gempa bumi.
"Sekiranya Indonesia memutuskan untuk go nuclear, kita harus memilih reactor dengan generasi terbaru juga, setidaknya Generation III atau III, untuk menghindari kecelakaan seperti yang terjadi di Fukushima, Chernobyl atau kecelakaan nuklir di Three Mile Island."