Bisnis.com, JAKARTA Pertumbuhan kendaraan sebesar 11% per tahunnya di Kota Bogor tidak berjalan seimbang dengan perkembangan infrastruktur jalan yang hanya tumbuh 0,01%. Akibatnya, kemacetan menjadi persoalan utama yang tengah dihadapi kota hujan ini.
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan Bogor telah tumbuh menjadi kota metropolitan, di mana kota yang mulanya dirancang untuk dihuni 200.000 penduduk itu kini telah memiliki 1 juta penduduk. Jumlah tersebut kian bertambah saat akhir pekan ketika sekitar 200.000 hingga 300.000 turis lokal diperkirakan mengunjungi Bogor setiap akhir pekan.
Light Rail Transit akan masuk menembus Kota Bogor 2018. Ini akan menjadi bencana kalau tidak siap dengan supporting systems. Akan ada mobilisasi besar-besaran ke pusat Kota Bogor, ujarnya saat seminar Urbanisasi Berkelanjutan, Rabu (25/11).
Menurutnya, tata kota Bogor masih menggunakan sistem tradisional di mana perkantoran, tempat ibadah dan rekreasi masih terpusat di tengah kota. Sementara itu, belum banyak alternatif jalan yang dapat dilalui. Buktinya, penduduk Bogor masih tergantung pada Jalan Padjadjaran dan Juanda di tengah kota.
Untuk itu, Bima mulai menerapkan tata kota yang baru yang meredistribusi fungsi kota. Dengan rancangannya itu, maka tengah kota difungsikan sebagai pusat kebudayaan, sementara bagian barat menjadi pusat pertanian dan utara sebagai pusat bisnis.
Kita juga sedang memperluas pedestrian. Kita mengembangkan konsep nonmotorized vehicle jadi orang yang naik mobil parkir di Baranangsiang, keliling kota naik sepeda atau jalan kaki. Anggarannya Rp6,7 miliar dari APBD, ujarnya.
Arie Sutedjo, sosiolog dari Universitas Gajah Mada mengungkapkan pentingnya pembangunan yang memilki ideologi humanisme. Dengan demkian, unsur sosial dan budaya masyarakat tidak tersisihkan selama proses konstruksi.
Membangun jembatan ini gampang, tetapi membangun jembatan yang bermanfaat bagi kemanusiaan itu yang susah. Tidak bisa pakai teori Bondowoso, akhir tahun baru dikebut cepat, ujarnya.
Dia menilai kecenderungan sosiokultural yang ada di masyarakat susah untuk diterjemahkan ke dalam program pembangunan karena masih berorientasi pada konstruksi fisik. Akibatnya, ketika bangunan terbangun, masyarakat tidak punya rasa memiliki dan tidak merawat hasil pembangunan.
Untuk itu, dia menilai perlu adanya program sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat di setiap pembangunan infrastruktur yang dilakukan. Program tersebut dapat terwujud melalui komitmen anggaran dan kesadaran dari pemangku kepentingan yang terkait.