Bisnis.com, JAKARTA -- "Uang itu bukan kekayaan, uang hanya ukuran kekayaan. kekayaan adalah aset, sawah, lahan, pabrik, itu kekayaan."
Kalimat itu dilontarkan dengan sangat berapi-api oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI), Selasa malam (25/11/2015).
Sejak menjabat sebagai Wakil Kepala Negara pada Oktober 2014 lalu, mungkin ini kali pertama Kalla meluapkan nada tinggi yang terurai panjang sejak awal hingga akhir pidato.
Mantan pengusaha itu seperti hendak mencurahkan berbagai kegundahan yang membuatnya gemas terhadap ketidakadilan sistem keuangan nasional.
Dia mengingatkan otoritas moneter, bankir, dan para praktisi sektor keuangan lain agar tak terkecoh memaknai kekayaan, lalu keliru mengambil kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Kalla berusaha menyadarkan khalayak bahwa kekayaan utama sebuah negara adalah aset sumber daya alam yang perlu mendapat perlindungan dan pengelolaan optimal. Dengan begitu, hasilnya akan menjadi sumber kekuatan ekonomi bangsa.
"Tidak ada satu pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan moneter, karena di dunia ini hanya produktivitas," tegasnya.
BI sebagai otoritas moneter independen diminta mensinkronkan kebijakan keuangan yang mendukung produktifitas sektor riil. Jangan malah berjalan terpisah dengan pemerintah seperti memiliki negeri sendiri.
Meski ditetapkan sebagai lembaga independen, menurut dia, BI tetap harus bermitra dengan pemerintah berdasarkan azas musyawarah. Pasalnya, kedua pihak memiliki tujuan yang sama, yakni memajukan perekonomian negeri ini.
Pelaksanaan kebijakan moneter harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah bidang perekonomian. Di lain pihak, pemerintah wajib meminta pandangan BI dalam menjalankan kebijakannya.
"Sekarang harus saling mendengarkan. Itulah makna kedua hubungan, supaya kita tidak salah paham," tuturnya.
Beberapa waktu terakhir, hubungan pemerintah dan Bank Indonesia memang sedikit meregang pascaperbedaan pandangan keduanya terkait level suku bunga acuan yang mempengaruhi kinerja sektor riil.
BI dan pemerintah memiliki ukuran keberhasilan ekonomi yang berbeda. Otoritas moneter mengukur keberhasilan dari pergerakan nilai tukar rupiah dan inflasi, sementara pemerintah mengukur keberhasilan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.
"Bagaimana menyeimbangkan keduanya? Di sana letaknya kita harus selalu berkoordinasi, tidak bisa masing-masing pihak menjalankan secara independen karena diikat UU," ucap Kalla.
Kebijakan moneter yang paling disoroti Kalla ialah level suku bunga acuan (BI Rate) yang masih jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain di Asia. Dia mendesak BI menurunkan BI Rate agar lebih kompetitif.
Dia menyebutkan Indonesia memiliki tiga kelemahan dalam bersaing dengan negara lain, yakni biaya tinggi di sektor keuangan, sektor logistik yang belum efisien, dan rumitnya birokrasi.
Sektor logistik dan birokrasi menjadi tugas pemerintah yang kini sedang terus diperbaiki. Dia menjamin peningkatan pembangunan infrastruktur dan reformasi birokrasi dapat membawa perubahan.
Kini harapannya, BI bisa mengambil kebijakan yang lebih berani demi menopang sektor riil. Terlepas dari deraan ekonomi eksternal yang memaksa BI menahan pelonggaran moneter.
"Kita tak perlu alasan apapun, The Fed menaikkan bunga atau apapunlah, untuk menolong negeri ini," ungkapnya.
Menurut dia, The Fed menaikkan suku bunga, dan BI Rate menurun, Indonesia tetap menjadi tempat berinvestasi menggiurkan para pemilik modal.
"Suku bunga Indonesia masih baik walau diturunkan. Jangan dimain-mainkan Republik ini, jangan terlalu bermain seperti itu," urainya dengan nada geram.
Mungkin pemilik konglomerasi Kalla Grup ini enggan negerinya terlampau dikendalikan Paman Sam, hingga terlambat menyelamatkan apa yang seharusnya dipertahankan.
Dia tak ingin Negeri Katulistiwa terlanjur kehilangan kekayaan karena minimnya produktivitas, ketika tiba masanya seluruh negeri berperang memperebutkan sumber kehidupan, atau ketika rakyat baru menyadari bahwa uang tak bisa ditelan.