Bisnis.com,JAKARTA—Pemerintah meminta masyarakat untuk berhemat dalam menggunakan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Pasalnya, meningkatnya kebutuhan air bersih setiap individu tidak seimbang dengan pasokan sumber daya air yang kian menipis.
Direktur Pengembangan Air Minum Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Mochammad Natsir menilai pola konsumsi masyarakat Indonesia termasuk dalam kategori boros. Menurut hasil survey yang dia lakukan, rata-rata warga Indonesia menghabiskan hingga 144 liter air per hari, bahkan di kota metropolitan bisa mencapai 240 liter per hari.
“Kebutuhan air minum dan baku sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Orang Indonesia mengonsumsi 144 liter per detik, separuhnya digunakan untuk mandi. Singapura rata-rata 180 liter per detik,” ujarnya saat sosialisasi Gerakan Hemat Air, Senin(16/11).
Dia mengemukakan 97% ketersediaan air di muka bumi berupa air laut. Sisanya yakni 3% berupa air tawar, dan dari jumlah tersebut, hanya 0,62% yang layak dikonsumsi. Oleh karena itu , dia menilai kesadaran warga untuk berhemat air bersih harus diingkatkan.
Selain itu, Ditjen Cipta Karya juga melakukan aut penghematan penggunaan air terhadap 6.586 gedung di seluruh Indonesia, yang terdiri dari gedung perkantoran, pelayanan publik, gedung sekolah, rumah sakit dan rumah dinas. Hasilnya menyatakan 64% atau sekitar 4.228 gedung masih berstatus boros, sementara jumlah rata-rata pemakaian aair selama enam bulan dari semua gedung yang diaudit mencapai 1, 07 juta meter kubik.
Adapun Gerakan Hemat Air Indonesia yang dilakukan pemerintah, ujar Natsir, berlandaskan pada Instruksi Presiden no 13/2011 tentang Penghematan Penggunaan Energi dan Air. Dasar hukum lainnya juga mengacu pada Peraturan Menteri PU no 12/PRT/M/2013 tentang Penghematan Penggunaan Air yang berasal dari Penyelenggara SPAM di lingkungan pemerintah, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD.
Deputi Gubernur Jakarta Bidang Industri Perdagangan dan Transportasi Sutanto Soehodho mengungkapkan pihaknya tengah menghadapi tantangan besar yakni penurunan muka tanah Jakarta sebanyak 5 cm setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena masifnya penggunaan air tanah oleh masyarakat.
“Tantangannya adalah bagaimana kita bisa menyediakan air bersih yang tidak mengganggu lingkungan. Kita tidak bisa berharap dari Jatiluhur,” ujarnya.
Dia menilai salah satu solusi kondisi ini adalah dengan menghentikan eksploitasi air tanah untuk mencegah penurunan muka tanah lebih rendah lagi. Selain itu, pihaknya kini tengah terlibat dalam proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang salah satunya adalah pembangunan tanggul laut raksasa di utara Jakarta.
Pakar Tata Air dari Institut Teknologi Surabaya Wahyono Hadi melihat fenomena yang sama juga terjadi di Surabaya. Menurutnya, masifnya pembangunan apartemen di kota pahlawan itu kerap dilakukan tanpa mempertimbangkan cadangan sumber air yang tersedia.
Namun, dia menilai Surabaya cukup beruntung karena terletak di dekat pantai. Dengan lokasinya yang dekat dari air laut, maka pemerintah bisa melakukan pengembangan instalasi air dengan teknologi reverse osmosis yang bisa mengubah air laut menjadi air tawar.
“Teknologi ini tidak disukai karena biaya yang mahal. Padahal, pengelolaan air laut yang mahal dapat tertutup dengan keberadaan garam. Bukan PDAM, tapi swasta bisa mengelola. Jadi limbah garam itu bisa diolah lagi,” ujarnya.