Bisnis.com, PEKANBARU – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Riau meminta Kementerian Pertanian untuk merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 14 Tahun 2013 tentang Pedoman Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit yang dinilai diskriminatif terhadap petani sawit swadaya.
Sekretaris Apkasindo DPW Riau Rino Afrino mengatakan regulasi yang dibuat Kementan dalam penentuan harga TBS sawit tersebut cenderung menganaktirikan petani swadaya. Padahal jika melihat perbandingan luas kebun petani plasma dengan petani swadaya, jelas lebih luas kebun swadaya.
Namun sebagus apapun mutu dan produksi TBS petani swadaya, mereka tidak mendapatkan harga yang sesuai seperti yang diharapkan petani swadaya umumnya.
"Regulasi tersebut cenderung menganaktirikan petani swadaya. Padahal luasan kebunnya justru lebih luas daripada petani plasma," katanya dalam keterangan pers, Sabtu (7/11/2015).
Menurut data yang dimiliki Apkasindo, luas kebun kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2014 yaitu 10,6 juta hektar yang didominasi oleh perkebunan rakyat sebesar 4,6 juta hektare atau 43 persen.
Dari luasan tersebut, perkebunan rakyat yang merupakan pola inti plasma atau kemitraan antara perusahaan inti dengan petani lewat berbagai skema kerjasama yaitu seluas 900.000 hektar, sedangkan lahan petani swadaya yang mengupayakan sendiri yaitu seluas 3,7 juta hektar.
Menurut Rino, saat ini kebun plasma terhitung hanya 40 persen saja atau sekitar 360.000 hektare yang diakui sebagai mitra, sedangkan atas berbagai alasan, sisanya tidak lagi bermitra.
Berdasarkan mandat dari Permentan tersebut, pemerintah provinsi pun membentuk tim penetapan harga yang mengawasi harga pembelian TBS oleh perusahaan kelapa sawit setiap minggunya.
Menurut Rino, penetapan harga yang baik sesuai Permentan tersebut hanya diberlakukan untuk petani plasma yang bermitra. Hal tersebut terjadi karena penafsiran tentang Permentan nomor 14/2013 tersebut dinyatakan langsung oleh pejabat Kementan dari direktorat pengolahan dan pemasaran hasil pertanian pada berbagai kegiatan pembahasan dan sosialisasi di daerah-daerah, jelas Rino.
Padahal jika ditelisik sejak awal hingga akhir, Permentan tersebut tidak menyebutkan bahwa peraturan tersebut hanya berlaku untuk pekebun plasma. Hal ini cukup fatal karena merusak harga TBS petani swadaya.
Rino mengatakan sebagian besar petani swadaya masih sulit menjual TBS mereka langsung ke pabrik. Kalau pun terjual, harganya lebih rendah sebesar Rp250-Rp400 per kilogram dibanding harga yang ditetapkan.
Harga yang lebih rendah tersebut pun belum dengan pembebanan sortase TBS sebesar 5 sampai 20 persen yang prosesnya tidak pernah dijelaskan pabrik. Padahal, Rino menegaskan TBS yang masuk ke pabrik sudah disortase secara total.
"Petani seolah didorong untuk menjual pada tengkulak yang beroperasi di kebun, mereka lalu menjual lagi pada pengumpul besar sebelum menjual ke pabrik. Rantainya cukup panjang tapi petani tidak punya pilihan," ujarnya.
Rino menjelaskan revisi harus dilakukan secara menyeluruh seperti ketentuan umum dan penjelasan khusus mengenai definisi kemitraan, atau subjek pemberlakuan aturan tersebut. Perlu juga ada penjelasan mengenai rendemen untuk menghitung harga TBS.