Bisnis.com, JAKARTA -- Solidaritas Perempuan (SP) meminta pemerintah tak hanya menekankan prosedur administratif dalam untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan, namun juga melihat posisi perempuan.
Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional SP, mengatakan program pemerintah saat ini belum berhasil menerjemahkan reforma agraria yang sesungguhnya. Dia menuturkan selama ini hanya diterjemahkan pada kepastian hukum atas tanah seperti pendaftaran tanah.
"Reforma agraria hanya pada kepastian hukum hak atas tanah seperti pendaftaran tanah positif, penegasan batas lahan hutan dan non-hutan serta sertifikasi. Kesemua itu menekankan pada prosedur legal-administratif dan bukan secara substantif mendorong pemenuhan dan perlindungan hak atas tanah," kata Puspa dalam siaran pers yang dikutip Bisnis.com, Rabu (23/9/2015).
Dia memaparkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional justru tak mempertimbangkan situasi khusus perempuan dalam hal penguasaan dan penggunaan tanah. Menurutnya, pemerintah tak memiliki data terpilah gender dan analissi yang mengidentifikasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan lahan.
SP memaparkan tanah, air dan hutan merupakan tempat hidup bagi perempuan guna keberlangsungan keluarga dan komunitasnya. Walaupun demikian, Puspa memaparkan, perempuan belum bisa mengendalikan sumber daya agraria hingga kini.
SP mencatat bahwa sepanjang 2012 – 2014, sedikitnya 2 perempuan dianiaya, 2 perempuan dikriminalisasi, 3 perempuan tertembak dan 3 perempuan luka-luka akibat bentrokan yang terjadi dalam konflik agraria.
"Kami menuntut negara segera mengeluarkan kebijakan dengan menyelesaikan konflik agraria dengan mempertimbangkan kondisi yang dialami perempuan akibat konflik tersebut," kata Puspa.