Banyak Versi Tanpa Konsensus
Wakil Presiden M. Jusuf Kalla memang pernah begitu memperhatikan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia. Kita tentu belum lupa beberapa waktu lalu dia pun mempersoalkan jumlah konsumsi beras per individu per kapita.
Masih lekat di ingatan, sekitar Maret tahun ini Kalla bahkan ‘bereksperimen’ untuk mengetahui sendiri berapa sebenarnya konsumsi beras masyarakat, yang amat banyak versi datanya.
Sebut saja data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yaitu konsumsi rumah tangga 87,63 kg per kapita per tahun, data Kemendag dan BPS 114 kg per tahun, data BPS 139 kg per tahun, dan data Kementerian Pertanian 124 kg per tahun.
Dari pengukurannya sendiri, Kalla pun akhirnya menyebut bahwa konsumsi beras per individu yaitu 114 kg per tahun atau paling mendekati data yang dirilis BPS.
Namun, sampai saat ini pun, data yang digunakan Kementerian Pertanian yaitu 124,89 kg per kapita per tahun. Meski lebih tinggi dari perkiraan BPS, angka ini sudah jauh ditekan dari angka konsumsi yang digunakan Kementan sebelumnya yaitu 139 kg per tahun.Tapi bukan angka-angka itu intinya.
Dari sini saja, kita bisa melihat memang tidak ada konsensus jelas bagaimana perhitungan data sebenarnya.
Kembali lagi ke tuntutan JK untuk mengevaluasi kembali data angka ramalan (Aram) I BPS yang menyebut produksi tahun GKG tahun ini mencapai 75,55 juta ton atau naik 6,64% dari produksi tahun sebelumnya yaitu 70,85 juta ton.
Jika produksi gabah kering giling pada 2014 mencapai 70,85 juta ton, dikonversi ke beras 62,74% menjadi 44,45 juta ton beras. Jika konsumsi per kapita 124 kg dengan jumlah penduduk 252 juta jiwa, maka total konsumsi hanya 31,24 juta ton, jadi ada surplus 13,23 juta ton pada tahun lalu. Namun, faktanya pada tahun lalu masih impor beras sekitar 500.000 ton.
Data ini merupakan angka ramal-an pertama dan BPS mengakui tidak memasukkan faktor risiko dari terjadinya fenomena El Nino. Lagi pula, masih ada angka ramalan kedua dan angka tetap produksi yang akan segera dirilis BPS.
Kendati demikian, data inilah yang kemudian digerek Kementan ke mana pun pergi. Kenaikan produksi, itu adalah hal wajar dan seharusnya, tetapi sering diungkapkan Menteri Pertanian Amran Sulaiman.
“Mau bukti bagaimana lagi? BPS itu lembaga yang sudah puluhan tahun berdiri, resmi milik negara, ada anggarannya. Yang menyebut data BPS salah, apakah menjamin datanya benar?,” kata Amran menanggapi sejumlah pengamat yang meragukan kenaikan produksi.
Pernyataan menteri asal Sulawesi Selatan itu jelas logis. Memangnya di negara ini lembaga statistik mana lagi yang sebesar BPS. Selama ini yang meragukan kinerjanya mungkin harus bicara dengan bukti.
Tapi fakta lapangan menunjukkan hal berbeda. Di lapangan, harga beras masih stabil tinggi kendati beras diklaim melimpah. Hal tersebut pun terbukti dengan kenaikan angka kemiskinan yang naik menjadi 28,59 juta jiwa pada Maret 2015, naik 0,86 juta penduduk dari September 2014, atau mencapai 11,22% dari total populasi Indonesia.
“Memang apabila harga beras naik dan harga lainnya ikut naik, maka angka kemiskinan bisa bertambah. Salah satu solusinya adalah dengan menstabilkan harga pangan, dengan meningkatkan produktivitas,” kata Kalla seusai raker di Kementan pekan lalu.
Bukti lainnya yang kerap disebut menunjukkan produksi tidak semelimpah itu misalnya sulitnya Perum Bulog menyerap gabah dan beras petani. Meski tak sesumbar mengakuinya, hal tersebut diakui Bulog sejak awal tahun ini.
Urusan pangan memang bukan perkara mudah. Ini adalah urusan perut manusia yang berujung pada produktivitas bangsa. Tapi apa daya, kita hidup di negara di mana pemerintahnya amat suka mempersolek data dan terlena menggunakannya.[]