Bisnis.com, JAKARTA - Pembentukan BUMN khusus yang mengelola energi panas bumi (geothermal) bakal menambah rantai birokrasi dan berpeluang menciptakan rent seekers.
“Tidak usahlah dibentuk BUMN Khusus. Serahkan saja kepada Pertamina,” kata Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), Tri Mumpuni, di Jakarta, Rabu (26/8/2015).
Menurut Tri, Pertamina memiliki kemampuan dan pengalaman yang cukup untuk mengelola 29.000 MW panas bumi yang ada di Indonesia. Pertamina didukung sumber daya manusia (SDM ) yang andal. “Pertamina sangat bisa. Masa hanya 29.000 MW harus dengan BUMN Khusus? PLN saja bisa menangani lebih dari 50.000 MW installed capacity,” kata Tri, yang kerap dijuluki “wanita listrik”, tersebut.
Dia mencontohkan saat Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM dibentuk. Ketika itu, semua memiliki harapan yang besar bahwa Ditjen tersebut akan menjadi leader, baik dari segi policy maupun regulasi. Nyatanya, pembentukan itu justru menambah rantai birokrasi. Adapun dari sisi kinerja, tak ada yang istimewa. “Makanya, kalau memang tidak efektif, efisien, dan hanya memperbanyak birokasi, lebih baik BUMN Khusus tidak usah dibentuk,” katanya.
Menurut Tri, yang menjadi persoalan bukan wadahnya, yakni apakah BUMN Khusus atau bukan. Akar kendalanya adalah regulasi dan perizinan seperti yang selama ini terjadi. Hal itu disebabkan kurangnya sinergi antar kementerian terkait. Sebut saja antar Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kurangnya sinergi, lanjut Tri, karena selama ini kurang pemahaman, pengelolaan geothermal dianggap bisa merusak lingkungan dan konservasi. Padahal, lanjutnya, panas bumi tidak seperti batu bara yang bisa merusak lingkungan kalau tidak dikelola dengan baik. “Hendaknya ke depan bisa lebih sinergis, sehingga akan mempermudah perizinan. Kebodohan yang lalu tidak boleh berulang. Sudah saatnya bersinergi, sehingga geothermal yang berada di hutan konservasi, misalnya, bisa dikembangkan dengan optimal,” kata Tri.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Poernomo mengatakan perlunta regulasi karena peran pemerintah dalam mengatur bisnis panas bumi, sangat besar. “Lihat saja, harga ditentukan Pemerintah, semua perizinan diberikan oleh Pemerintah. Karena ini sifatnya izin dan bukan PSC,” kata Abadi.
Itu sebabnya, regulasi yang dibuat Pemerintah harus bisa diaplikasikan dan diterima pelaku usaha. Jika terdapat aturan yang menghambat, tentu akan mempengaruhi minat investasi di sektor ini. “Sebut saja proyek sudah jalan. Namun, jika di tengah jalan terdapat aturan dari Kementrian lain masuk, inilah yang menghambat,” lanjutnya.
Data dari Kementerian ESDM menunjukkan sampai saat ini kapasitas pembangkit panas bumi hanya 1.432 MW, padahal banyak perusahaan sudah mendapat ijin usaha tapi tidak jalan. Dalam konteksi ini pula, Abadi menekankan pentingnya sinkronisasi dan koordinasi antar kementerian. Terlebih, karena hingga saat ini koordinasi antar kementerian, masih teramat lemah.
Kelemahan tersebut, kata Abadi, karena masing-masing kementerian memiliki Quality performance index (QPI) yang bisa jadi saling bertolak belakang. Sebut saja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang QPI-nya, antara lain diukur dari keberhasilan mempertahankan luas hutan. “Padahal, energi selalu bertumbuh dan kebanyakan berada di hutan. Di sanalah harus dipilih, apakah mengutamakan kehutanan atau energi,” katanya.
API sendiri, lanjut Abadi, lebih memilih langkah untuk berkolaborasi. Artinya, mengutamakan energi tidak berarti harus dengan mengorbankan hutan. Dengan demikian, perusahaan yang membangun pembangkit di hutan wajib menjaga hutannya.
“Mekanisme inilah yang kita pilih dan berharap bisa dipahami oleh Kementerian lain sehingga kita bisa memajukan geothermal. Tidak hanya dengan KLHK tetapi juga dengan kementrian lain, seperti Kementerian Keuangan. Seperti diketahui bisnis panas bumi bukan bisnis murah. Oleh karenanya butuh subsidi. Kalau Kementerian Keuangan tidak menyediakan subsidi, maka panas bumi juga bakal tidak jalan,” kata Abadi.