Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Catatan RAPBN 2016: Asumsi Makro dan Anggaran Lebih Realistis

RAPBN 2016 sebagaimana tecermin dalam Pidato Pengantar Nota Keuangan Presiden Jokowi dinilai masih menghadapi problem serius. Kerentanan di bidang pangan, baik aspek persediaan maupun lonjakan harga, pelemahan rupiah terhadap dolar AS, dan merosotnya harga minyah dunia itu akan menjadi isu krusial.
Anggota dewan mengikuti sidang paripurna Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) di Jakarta, Jumat (14/8). / Bisnis Abdullah Azam
Anggota dewan mengikuti sidang paripurna Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) di Jakarta, Jumat (14/8). / Bisnis Abdullah Azam

Bisnis.com, JAKARTA – Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 sebagaimana tecermin dalam Pidato Pengantar Nota Keuangan Presiden Jokowi dinilai masih menghadapi problem serius. Kerentanan di bidang pangan, baik aspek persediaan maupun lonjakan harga, pelemahan rupiah terhadap dolar AS, dan merosotnya harga minyah dunia itu akan menjadi isu krusial.

“Kendati menghadapi isu-isu krusial kita mengapresiasi pemerintah merancang asumsi makro dan anggaran yang lebih realistis,” ujar Andreas Eddy Susetyo, anggota Komisi XI dari FDPI Perjuangan, dalam siaran persnya, Senin (17/8/2015).

Dia mengatakan asumsi itu adalah tingkat pertumbuhan menjadi 5,5% pada 2016 dari range 5,5%-6% dalam kerangka ekonomi makro dengan asumsi kondisi ekspor dan impor membaik. Namun target ini akan susah tercapai apabila tanpa extra effort karena itu pemerintah perlu menjelaskan sumber pertumbuhan baru.

Pemerintah tentu berharap RAPBN 2016 dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian target pertumbuhan tersebut. Untuk itu, pemerintah menaikkan target pendapatan menjadi Rp1.848 triliun atau sebesar Rp86 triliun dari sebelumnya Rp1.762 triliun.

Kenaikan ini mengandalkan dari kenaikan pajak. Namun perlu diperhatikan adanya kenaikan target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.566 triliun atau sekitar 5.1% (Rp 84 triliun) dari Rp 1.482 tahun 2015.

Akan tetapi perlu dicermati realisasi penerimaan 2015 yang kemungkinan tidak tercapai Rp 150 triliun. Oleh karena itu tambahan penerimaan itu menjadi Rp 234 triliun. Kenaikan ini perlu dikaji ulang dengan memerhatikan pelambatan ekonomi. 

Kebijakan ini telah menaikkan rasio pajak terhadap PDB tahun 2016 mencapai 13,25%. Untuk itu, pemerintah perlu memerhatikan proyeksi dan realisasi penerimaannya.

Isu lain adalah belanja infrastruktur harus memerhatikan rencana jangka pendek, menengah dan panjang. Karena itu belanja infrastruktur kerakyatan harus mendapat prioritas, tidak hanya pda proyek infrastruktur besar yang efeknya baru dirasakan jangka menegah. Infrastruktur kerakyatan akan meyentuh ekonomi kerakyatan sehingga hasilnya akan langsung dirasakan rakyat.

Selain itu, alokasi belanja tunai bersyarat harus ditunjang program yang matang sehingga benar-benar mengubah pola konsumtif ke produktif. Kualitas belanja juga perlu ditingkatkan melalui optimalisasi peran Menko dan Bappenas sebagai perencana nasional dengan dukungan basis data terpadu dari BPS RAPBN yang diajukan oleh pemerintah secara umum bersifat ekspansif dengan adanya kenaikan utang.

Hal ini akan memberikan  dampak kepada debt service ratio (DBS) yang akan semakin naik. Karena itu perlu penjelasan dari pemerintah terutama trekait dengan kemandirian ekonomi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Fatkhul Maskur
Editor : Fatkhul Maskur

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper