Bisnis.com, JAKARTA - Dalam Pidato Pengantar Nota Keuangan Presiden Jokowi dinyatakan bahwa asumsi nilai tukar sebesar Rp 13.400 adalah lebih atas asumsi makro (Rp13.000-Rp13.400) yang dibacarakan bersama DPR.
“Tetapi pemerintah harus menunjukkan sikap serius untuk mempertahankan nilai tukar rupiah untuk mengembalikan kepercayaan. Harus diakui bahwa sentiman pasar terhadap nilai tukar rupiah saat ini telanjur negatif,” kata Andreas Eddy Susetyo, anggota Komisi XI dari FDPI Perjuangan, dalam siaran persnya, Senin (17/8/2015).
Dia mengatakan upaya menjaga nilai tukar rupiah harus diakui bukan hal yang mudah karena saat ini ada indikasi kuat telah terjadi perang mata uang (currency war) antara yuan China dan dolar Amerika Serikat.
China sudah mendevaluasi mata uangnya terhadap dolar AS yang memengaruhi nilai tukar internasional. Posisi Indonesia yang memiliki kaitan bilateral baik dengan China maupun Amerika Serikat mengakibatkan nilai tukar terombang-ambing dalam ketidakpastian.
“Jika pemerintah tidak tegas mengambi sikap, nilai tukar rupiah akan selalu berada di posisi tidak pasti dan efeknya pelaku bisanis juga mengalami situasi yang tidak kondusif,” katanya.
Berkaitan dengan harga minyak, batas bawah yang diambil pemerintah sebesar US$60 / barel dari asumsi makro US$60- US$70/barel sudah tepat. Namun gelojak internasional perlu diantisipasi terutama apabila Senat AS menyetujui ditetapkannya perjanjian bilateral antara Amerika Serikat dan Iran.
“Jika hal itu terjadi, minyak Iran akan membanjiri pasar yang otomatis menyebabkan harga minyak anjlok.“
Menurutnya, perlu ada skenario agar merosotnya harga mintak dunia dan rupiah tidak berimbas terlalu jauh ke sektor ekspor Indonesia. Sebab Indonesia mengandalkan ekspor komoditas dimana pasar komoditas ini akan terpukul apabila harga minyak dunia merosot. []