Bisnis.com, JAKARTA - Devaluasi Yuan membuat tingkat konsumsi domestik semakin krusial untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia.
People Bank of China dalam 2 hari terakhir ini telah menurunkan nilai tukar patokan yuan terhadap dolar Amerika Serikat sebesar 3,5%.
Mantan menteri keuangan RI yang sekarang mengajar di Harvard University, Chatib Basri mengatakan devaluasi yuan meningkatkan ketidakpastian ekonomi global.
People Bank of China (PBoC) dalam 2 hari terakhir telah menurunkan nilai tukar patokan yuan terhadap dolar Amerika Serikat sebesar 3,5%.
PBoC sengaja melemahkan nilai tukar yuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan mendorong ekspor China yang akhir-akhir ini melempem.
Namun devaluasi yang terlalu tajam berpotensi memukul daya saing produk ekspor Eropa dan negara lain di Asia. Penurunan kinerja ekspor tersebut akan menggoyahkan laju pertumbuhan ekonomi di kedua kawasan.
Indonesia dan negara-negara pengekspor komoditas yang lain juga ikut terpukul. Permintaan bahan baku industri China berpotensi merosot karena harga komoditas dari luar negeri meningkat.
Selain itu, kebijakan PBOC bisa memacu gelombang currency war baru dan menambah tekanan ke The Fed untuk menunda penaikan suku bunga acuan AS.
“Kalau itu terjadi maka bisa dibayangkan nilai tukar akan terus melemah dan ketidakpastian pasar terjadi karena itu kita harus antisipasi,” kata Chatib, Rabu (12/8/2015).
Chatib mengatakan pemerintah harus menggenjot konsumsi domestik melalui keep buying policy di saat dorongan eksternal dari investasi dan ekspor tidak bisa diandalkan.
Pengeluaran pemerintah untuk belanja sosial seperti bantuan tunai, program padat karya, dan kebijakan pajak dibutuhkan agar ekonomi Indonesia tidak kehilangan topangan daya beli masyarakat.
“BLT, program padat karya, menaikan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dan insentif pajak jika perusahaan tidak PHK,” ujarnya.