Bisnis.com, JAKARTA—Pengusaha logistik mendesak pemerintah dan Bank Indonesia untuk menetapkan patokan nilai tukar rupiah tertentu di sektor pelayaran setelah diberlakukannya kebijakan penggunaan mata uang nasional bagi semua transaksi di wilayah Negara Kesatuan Indonesia.
Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) meminta pemerintah untuk menegakkan hukum yang tegas dalam memberlakukan peraturan penggunaan rupiah sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.17/3/PBI/2015.
“Pembayarannya dilakukan dengan rupiah, namun tidak sesuai dengan kurs tengah BI atau tidak melalui kesepakatan dengan pelaku logistik,” ujar Ketua Umum ALFI Yukki N. Hanafi, Minggu (9/8).
Mengenai perkara ini, pelaku usaha sudah menanyakan ke BI, namun tidak ada tindakan ataupun jawaban jelas dari pihak yang berwenang.
Yukki menjelaskan pengusaha logistik yang ingin melakukan impor harus membayar dengan kurs yang tidak sesuai dengan kurs tengah BI. Menurutnya, perusahaan pelayaran dengan semena-mena menetapkan patokan Rp15.000 hingga Rp17.000 per dolar AS.
Sementara itu, ALFI melihat tarif angkutan barang dengan pesawat udara jauh lebih baik karena setiap pihak termasuk bandara menetapkan kurs dolar per semester sehingga lebih stabil.
Ketua DPC ALFI Jawa Tengah Ari Wibowo membenarkan kenyataan ini. Dia memaparkan pengaturan patokan kurs untuk pengiriman barang via udara lebih pasti karena semua stakeholders duduk bersama tiap enam bulan sekali guna menetapkan batasan tersebut.
“Seharusnya seperti itu sehingga ada win win solution,” ujarnya.
Di wilayah Jawa Tengah sendiri, pelaku logistik harus membayar rata-rata biaya THC sebesar US$145 untuk kontainer 40 kaki dan US$90 untuk kontainer 20 kaki. Menurutnya, tarif yang dikenakan oleh pelaku pelayaran rata-rata mengunakan patokan kurs sebesar Rp15.000 per dolar AS.
Terpisah, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jateng Iskandar Simorangkir menegaskan patokan nilai tukar untuk seluruh transaksi tidak di atur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurutnya, regulasi yang telah diterbitkan pada tanggal 31 Maret 2015 itu memberikan ruang bagi mekanisme pasar untuk patokan nilai tukar transaksi.
“Ditetapkan dengan mekanisme pasar, jadi, kami tidak mengatur kursnya. Tidak ada yang mengatur kewajiban mengikuti kurs tengah, nilai tukar ditentukan pasar, kesepakatannya,” ungkapnya.