Bisnis.com, JAKARTA—Pembukaan keran kepemilikan properti oleh asing dipercaya tidak akan mengganggu suplai hunian bagi masyarakat kelas menengah-bawah. Justru pemasukan dari pajak yang tinggi bisa dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan backlog (defisit hunian) nasional.
Sekjen DPP Realestate Indonesia (REI) Hari Raharta mengatakan asosiasi menyampaikan dua hal terkait kepemilikan properti oleh asing yang perlu dikaji lebih lanjut.
Pertama, batas harga dikenakan minimal Rp5 miliar per unit, sesuai standar pajak barang sangat mewah. Kedua, dalam satu gedung hunian vertikal, konsumen asing hanya bisa membeli maksimal 49% dari total unit.
“Kepemilikan properti oleh asing perlu dibuka dengan adanya batasan-batasan. Artinya, kami bukan menjual tanah, tetapi menjual unit, supaya tidak menggangu kebutuhan backlog nasional,” tuturnya dalam acara Property Review dan Outlook 2015 di Jakarta, Kamis (25/6/2015).
Dengan batas harga minimal Rp5 miliar, negara dapat memeroleh pajak 40%. Rinciannya yaitu Pajak Penghasilan (PPh) 5%, Pajak Penjualan (PPN) 10%, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) 20% dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) senilai 5%. Artinya, minimal negara dapat memiliki pemasukan sebesar Rp2 miliar dari satu unit yang terjual.
Dana sebesar itu, lanjut Harry, bisa dialokasikan untuk menggenjot pengembangan hunian untuk kelas menengah ke bawah.
Kebutuhan hunian secara nasional pada 2015 sudah mencapai angka 15 juta orang. Pemerintah sudah melakukan langkah solutif melalui Program Sejuta Rumah yang dipercaya dapat menggerakan sektor properti. Asosiasi REI pun berkomitmen dengan menargetkan pembangunan 230.000 hunian murah.
Menurut Hari, segmen menengah ke bawah tetap menjadi fokus pengembang dalam menyediakan suplai. Pasalnya, sekitar 3000 developer yang menjadi anggota REI di seluruh Indonesia, 70%-nya bermain di segmen rumah murah.
Dibukanya keran kepemilikan properti oleh asing juga dapat mengencangkan laju perekonomian dengan partisipasi neraca perdagangan nasional. Berdasarkan hasil kajian asosiasi bersama Universitas Indonesia terdapat 174 industri turunan dari sektor properti.
“Tidak ada piring dan gelas baru kalau tidak ada rumah baru. Lagipula, satu produk properti seperti kantor dan mal bisa menyerap tenaga kerja begitu besar dalam pembangunannya, dan juga dalam pengoperasiannya,” ujar Hari.