Bisnis.com, JAKARTA-- Indonesia berpotensi menelan kerugian besar jika tidak memiliki payung hukum jelas yang mengatur pengelolaan atas krisis ekonomi.
Ketua Komisi XI DPR RI Fadel Muhammad mencontohkan ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia pada periode 1997-1998, pemerintah harus merogoh kocek untuk rekapitalisasi perbankan mencapai 34,5% terhadap produk domestik bruto (PDB) negara ini. Penyebabnya, ketika itu tak ada landasan hukum yang kuat untuk menangani stabilitas sistem keuangan.
“Kalau kita tidak punya JPSK [Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan], negara kita bisa rugi besar dan uangnya banyak habis,” jelas Fadel dalam seminar yang digelar Bisnis Indonesia bertajuk Indonesia Business Banking Forum: Urgensi JPSK Dalam Menjaga Stabilitas Perbankan di Jakarta, Senin (9/6/2015).
Berkaca dari potensi tersebut, Fadel menjelaskan kini bersama pemerintah, pihaknya tengah getol mempersiapkan UU JPSK.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Heru Budiargo mengatakan biaya yang dikeluarkan pemerintah ketika terjadi krisis sangat besar. Dia merinci, biaya tersebut diperlukan di antaranya untuk suntikan modal, penyesuaian kurs, dan nilai tukar.
“Saat krisis pada 1997-1998, uang langsung yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp700 triliun-Rp800 triliun. Belum lagi ongkos sosial dan politik,” jelas Heru.
Untuk menekan kerugian tersebut, lanjut Heru, perlu akuntabilitas yang lebih jelas, kewenangan yang lebih jelas, aturan yang mengatur independensi lembaga, dan pengelolaan good governance yang bakal diatur dalam UU JPSK.
“Inilah mengapa diperlukan UU JPSK yang menjadi payung hukum dalam pengelolaan krisis yang memiliki dampak besar,” papar Heru.