Bisnis.com, JAKARTA - Gusti Rizqan mengunggah satu berita ke dinding Facebook miliknya 4 hari sebelum Natal, Desember lalu. Judulnya: Tokoh Muhammadiyah: Larang Ucapkan Natal, Itu Lucu. Dia berkomentar mengapa orang masih berpikiran tak terbuka ketika cendikiawan Islam saja tak mengharamkan ucapan Natal kepada kolega Kristiani.
“Tokoh NU, Muhammadiyah dan cendikiawan Islam besar lainnya tidak mengharamkan,” tulisnya saat itu. “Masih banyak saja yang berpikiran sempit #hopeless.”
Rizqan—berumur di awal 30— adalah adik saya yang tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan bekerja untuk satu kantor akuntan publik. Saya sesekali meneleponnya, namun kami jarang bertemu. Unggahan tersebut, akhirnya mendapatkan tanggapan dari Gilang Dan Galang Nady serta Fadli Ramadhan. Keduanya tak setuju dengan isi berita tersebut. Diskusi pun mengalir.
“Pemberian ucapan selamat Natal baik dengan lisan, telepon, SMS, pengiriman kartu,“ tulis Gilang, “Berarti sudah memberikan pengakuan terhadap agama dan rela dengan prinsip-prinsip agama mereka.”
“Toleransi itu membiarkan, bukan membenarkan. Kalau Muslim ucapkan selamat Natal, coba minta Nasrani ucapkan syahadat, mau enggak mereka?” kata Fadli. “Ucapin syahadatnya disaksikan banyak orang.”
Saya awalnya tak mau menggubris soal ini, namun komentar mereka menggelisahkan. Masalah yang diungkapkan Gilang dan Fadli, tak pernah berubah sejak lama. Setidaknya pada 1990—ketika saya masih duduk di sekolah menengah pertama di Banjarmasin—anjuran sejenis pun sudah terdengar: tak boleh memberikan ucapan selamat Natal. Ternyata, perdebatan macam ini, tak pernah mendekati kata selesai hingga hari ini.
Dalam diskusi itu, saya mempersilakan secara bebas apakah orang mau mengucapkan atau tidak. Namun, saya menawarkan perbincangan lainnya. Daya rusak batu bara dan peranan ulama.
Secara personal, saya punya harapan soal ini. Para tuan guru—sebutan ulama besar di Kalimantan Selatan—tak sekadar mengurus iman pribadi, melainkan juga mempromosikan kesadaran tentang hancurnya lingkungan karena pertambangan batu bara.
Di Indonesia, provinsi ini adalah produsen terbesar kedua setelah Kalimantan Timur. “Bagaimana peranan ulama melihat kehancuran lingkungan akibat batu bara?” tulis saya. “Apakah benar ulama menjadi bagian dari bisnis batu bara yang menghancurkan?”
Jawaban mereka bermacam-macam. Mulanya ada yang mengecam soal sekularisme dan pluralisme. Ini tentunya berkaitan dengan sikap saya soal Natal. Ada pula yang mempermasalahkan tak diterapkannya syariat Islam, berakibat pada kerusakan lingkungan. Hingga, argumentasi soal kewajiban penegakan hukum Allah—bukan manusia, adalah segala-galanya. Kesannya, mereka mengumandangkan bahwa agama, dapat menjawab setiap persoalan.
Tetapi mengapa hingga hari ini, tak ada gerakan masif orang Banjar soal kerusakan lingkungan akibat batu bara? []
BACA JUGA
- Seribu Langgar Sejuta Bara (I): Ulama dan Kehancuran Lingkungan
- Seribu Langgar Sejuta Bara (II): Satu Ladang Beda Ilalang
- Seribu Langgar Sejuta Bara (III): Hubungan Gelap Ulama dan Penguasa
- Seribu Langgar Sejuta Bara (IV): Raksasa Kapital
- Seribu Langgar Sejuta Bara (V): Oligarki, Si Perusak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel