Bisnis.com, JAKARTA—Kalangan pengusaha konstruksi berharap upaya peningkatan kompetensi tenaga konstruksi dalam negeri di bidang EPC (Engineering, Procurement, and Construction) turut didukung oleh keberpihakan pemerintah melalui kebijakan tegas dan insentif untuk memperbaiki iklim usaha di bidang EPC.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Kontraktor Indonesia Zali Yahya mengatakan proyek EPC memang memuat risiko defisit finansial yang besar dibandingkan proyek konstruksi biasa.
Sementara itu, kontraktor lokal sulit bersaing karena tingkat suku bunga bank dalam negeri jauh lebih besar dari bank-bank asing. Saat ini, 60% proyek EPC dalam negeri dikuasai kontraktor asing.
“Mesti ada insentif dari pemerintah atau keberpihakan dari sisi finansial ini supaya daya tawar kita tinggi,” katanya saat dihubungi, Minggu (10/5/2015).
Selain itu, keberpihakan pemerintah juga mesti tampak dalam persyaratan tegas terkait keterlibatan tenaga dalam negeri di dalam manajemen perusahaan EPC asing yang bekerja di Indonesia. Hal ini untuk menjamin terjadinya transfer pengetahuan dan teknologi terhadap tenaga nasional.
“Untuk kepala proyek level 1 boleh saja orang asing, tetapi untuk yang level dua maksimum 30%-40% saja orang asing, selebihnya orang Indonesia,” katanya.
Zali mengatakan hingga saat ini pihaknya tengah berupaya agar perbaikan iklim usaha ini terakomodasi dalam revisi Undang-Undang Jasa Konstruksi yang tengah dibahas di parlemen.
“Kita tetap mengajukan usul yang realistis dan tetap bersesuaian dengan kaidah yang berlaku di internasional. Tetap harus ada keberpihakan, tetapi tidak bisa terlalu memproteksi diri,” katanya.
Ketua Umum LPJKN Tri Widjayanto mengatakan pihaknya telah mengajukan beberapa poin penting kepada pemerintah untuk disuarakan di parlemen. Salah satu tuntutan LPJKN menurutnya adalah perlunya pasal affirmatif dalam revisi UU Jasa Konstruksi yang memuat perlindungan terhadap badan usaha nasional.
“Pasal ini sebagai dasar untuk nanti dibuat aturan pelaksana yang mengatur syarat dan ketentuan bagi badan usaha asing yang mau berusaha di Indonesia, dan juga dukungan insentif untuk badan usaha nasional yang mau berekspansi ke luar negeri,” katanya.
Tri mengatakan dukungan tersebut mendesak selain karena era MEA yang sebentar lagi akan dimulai, juga untuk menyehatkan badan usaha nasional.