Bisnis.com, JAKARTA— Tiga indikator pasar di dalam negeri menyedot perhatian, terkait pelemahan tajamnya.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang didera aksi jual investor asing sehingga menyentuh level terendah sepanjang perdangangan tahun 2015.
Pasar surat utang negara (SUN), juga ikut terseret dengan pelemahan yang cukup dalam di kinerja obligasi pemerintah.
Sementara itu rupiah yang berusaha menguat, tetap harus pasrah di level di atas Rp12.900 saat ini.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Indonesia memang tidak sendiri, seperti halnya dari pergerakan mata uang, sejumlah negara lain juga mengalaminya. Demikian pula halnya dengan kondisi bursa, dan pasar obligasi.
Nampaknya sentimen global menggoyang pasar. Dua peristiwa yang paling disoroti adalah hasil rapat bank sentral Amerika Serikat federal Reserve, setelah rapat dua harinya.Putusan Fed terkait jadi tidaknya suku bunga acuan (Fed Rate) naik, dirilis pada Kamis dini hari WIB.
Sementara itu utang Yunani juga jatuh tempo pada Jumat ini, dan pemerintah Negara Para Dewa tersebut terus melakukan negosiasinya dengan para kreditor di Zona Euro.
TAK RAPUH
Analis Infovesta Utama Praska Putrantyo mengatakan indikasi melemahnya IHSG, laju obligasi pemerintah, dan rupiah yang masih bertengger di atas Rp12.900/US$ bukan gambaran terpuruknya kondisi ekonomi Indonesia.
“Bukan gambaran ekonomi kita sedang cenderung rapuh,” kata Praska saat dihubungi hari ini, Rabu (29/4/2015).
Apalagi, ujarnya, pemerintah terus berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri dengan sejumlah terobosan.
Di antaranya telah menurunkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) pada Februari 2015 dari 7,75% ke 7,5%. Di samping itu mengawasi ketat pergerakan inflasi dalam negeri di tengah pemangkasan alokasi subsidi BBM. di saat bersamaan mengemuka pemasaran bahan bakar minyak jenis baru yang diberi nama Petralite.
Di samping itu, ujarnya, neraca perdagangan Maret 2015 tercatat surplus Rp1,13 miliar di tengah terjadinya pelemahan kurs rupiah.
Mesi demikian, Praska menilai memang pemerintah meski memikirkan cara untuk menciptakan kondisi yang menyebabkan IHSG, rupiah, dan obligasi pemerintah mempunyai kinerja seperti yang diharapkan.
“Kebijakan moneter bisa dilakukan (untuk perbaikan) dalam 3—6 bulan (ke depan). Salah satunya dengan cara memberi stimulus pada pasar saham dan obligasi dengan menurunkan suku bunga acuan,” kata Praska.
Di samping itu, tambahnya, dengan menciptakan data makro ekonomi yang bisa memacu optimistis pasar.